Sambungan atikel KEDUA
Oleh: Adif Fahrizal
Pentingnya Tabayyun dan Silaturahim
Di satu sisi timbulnya anggapan yang demikian sebenarnya wajar saja karena memang istilah “Islam Nusantara” itu sendiri masih terdengar rancu di telinga banyak orang. Justru di sinilah letak kewajiban para pengusung wacana ini dari kalangan intelektual pesantren untuk menjelaskan “Islam Nusantara” kepada khalayak umat Islam Indonesia secara luas sehingga syubhat bahwa “Islam Nusantara” adalah kedok liberalisasi dapat ditepis. Terkait dengan hal ini, menurut hemat penulis akan lebih baik jika para intelektual pesantren yang mengusung “Islam Nusantara” menggunakan istilah yang lebih jelas maknanya misalnya “kebudayaan Islam Nusantara”, “peradaban Islam Nusantara”, atau “khazanah keilmuan ulama Nusantara” agar terhindar dari kerancuan pemahaman dan su`uzhon dari sebagian umat Islam.
Di sisi lain penting pula bagi umat Islam yang terlanjur mengambil sikap kontra terhadap wacana “Islam Nusantara” untuk melakukan tabayyun atas wacana ini. Hendaknya kita tidak terburu-buru mengambil kesimpulan apalagi memvonis suatu wacana tanpa memahami duduk persoalan yang sebenarnya. Adanya kritik tentu sah-sah saja namun sudah seharusnya bila penilaian dan penyikapan atas wacana “Islam Nusantara” dilandasi sikap adil, obyektif, dan pikiran yang jernih. Untuk itu silaturahim antara pihak-pihak yang selama ini kontra terhadap “Islam Nusantara” dengan kalangan intelektual pesantren yang mengusungnya juga menjadi penting. Lagi-lagi menurut hemat penulis kontroversi di seputar wacana “Islam Nusantara” ini sesungguhnya terjadi karena salah paham dan gagal paham di antara kedua belah pihak yang hanya bisa diselesaikan dengan duduk bersama dalam semangat ukhuwwah.
Menyambung Kembali Hubungan Islam dan Kebudayaan Nusantara
Terlepas dari kontroversi yang meliputinya, sepanjang dipahami secara tepat wacana “Islam Nusantara” sejatinya bisa menjadi sarana untuk menyambung kembali hubungan Islam dan kebudayaan Nusantara yang selama ini terputus atau sengaja hendak diputus oleh segelintir orang. Selama ini para orientalis kerap menganggap bahwa Islam hanyalah lapisan tipis di atas kebudayaan Nusantara yang intisarinya adalah animisme, dinamisme, Hinduisme, dan Buddhisme. Seolah-olah Islam yang dianut sebagai agama mayoritas penduduk kepulauan ini tidak mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan masyarakatnya.
Dalam wacana kebudayaan nasional khazanah kebudayaan Islam ditutupi oleh penonjolan warisan zaman Hindu-Buddha. Peninggalan-peninggalan Hindu-Buddha seperti candi dan naskah-naskah kuno dari masa itu ditampilkan sebagai representasi kebudayaan Nusantara sementara sekian banyak masjid, kitab-kitab ulama dalam bahasa lokal, dan karya-karya sastra bernuansa Islam yang begitu melimpah seolah dikesampingkan begitu saja. Tanpa harus menafikan adanya sisa-sisa pengaruh atau kesinambungan budaya dari masa pra-Islam, sikap menafikan pengaruh Islam dalam kebudayaan Nusantara jelas merupakan sikap yang tidak adil dan ahistoris.
Dalam konteks ini maka kehadiran wacana “Islam Nusantara” menjadi suatu hal yang tepat untuk menunjukkan bahwa Islam mempunyai sumbangsih yang besar bagi pembentukan kebudayaan Nusantara bahkan boleh dikatakan Islam adalah ruh dari kebudayaan sebagian besar masyarakat Nusantara. Diperlukan upaya serius untuk menggali kekayaan budaya Islam di Nusantara ini dan bila perlu merevitalisasinya untuk menjawab tantangan yang dihadapi umat Islam dan bangsa Indonesia umumnya hari ini. Untuk itu kerja-kerja intelektual dan kerja-kerja kebudayaan lainnya yang lebih luas menjadi sebuah keniscayaan. Di sinilah potensi sumber daya umat Islam perlu disalurkan. Sangat sayang jika energi umat dihabiskan untuk memperdebatkan suatu wacana namun kita lupa akan pokok permasalahan sesungguhnya yang perlu dijawab. Wallahu a’lam bish shawab.*
Penulis adalah mahasiswa S2 Sejarah Universitas Gajah Mada