Hidayatullah.com–Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Dr Muhammad Syarkawi Rauf menyatakan pemerintah dan aparat penegak hukum tak bisa berbuat banyak untuk menghentikan marajalelanya kartel pangan.
Syarkawi menyatakan, upaya yang kerap dilakukan pihaknya dengan melakukan joint investigation dan menghukum pelaku kartel, belum berimpikasi besar terhadap menurunya kartel pangan.
Rauf menyebutkan kartel pangan di Indonesia saat ini telah menjadi kejahatan luar biasa.
“Namun demikian, pemerintah dan para penegak hukum tidak mau menyentuhnya karena dengan berbagai alasan dan pertimbangan,” kata Syarkawi di sela acara “Workshop on Abuse of Dominance and Unilateral” di Kuta, Bali, Rabu (11/05/2016) dikutip Antaranews.
Persengkokolan antar pengusaha untuk mengendalikan harga pangan atau jamak disebut kartel, mengakibatkan rakyat dan konsumen merugi.
Harga-harga kebutuhan pokok yang mestinya bisa dibeli lebih murah, namun jauh melonjak tinggi bahkan mencekik leher. Syarkawi mencontohkan, harga daging ayam di tingkat peternak sebesar Rp. 10 ribu hingga Rp. 15ribu melonjak Rp. 30ribu hingga Rp. 40ribu di pasar tradisional dan pasar modern.
Berkuasanya kartel pangan juga kerap kali membuat stok pangan tak stabil. Pasokan komoditas-komoditas utama seperti beras, daging ayam dan daging sapi, kerap kali bergejolak. Padahal KPPU pernah menyelidiki, menipisnya stok beras di Pasar induk Cipinang Jakarta Timur beberapa waktu lalu, bukan akibat menurunya produksi beras di
tingkat petani, namun sengaja dihambat oleh para kartel, agar harga beras melonjak tinggi.
Masalah pasokan pangan juga pernah mengakibatkan kementerian perdanganan dan pertanian bersitegang, terkait data pangan dan pengaturan impor.
Menurut Syarkawi, jika pemerintah tak dapat menghentikan monopoli sektor pangan oleh kartel, maka program-program pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan akan sia-sia.
Ia mengamati para penegak hukum tidak paham dengan upaya konspirasi para pengusaha, dan di sisi lain adanya pembiaran karena terjadi konspirasi dengan kelompok pengusaha pelaku kartel.
“Kartel yang dilakukan sekelompok pengusaha itu justru sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak termasuk bahan pokok yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Kerugiannya sangat fantastis. Kartel daging ayam, misalnya, kerugian bisa mencapai Rp300 triliun lebih per tahun,” katanya.
Ia mengatakan, data yang dirilis KPPU selama ini memang belum dikenal publik. Masyarakat lebih mengetahui lembaga lainnya seperti KPK karena sering melakukan operasi tangkap tangan dengan publikasi yang sangat tinggi, begitu KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang demokratis.
Sementara KPPU yang mampu menyelamatkan aset ratusan triliunan memang belum dikenal publik termasuk lembaga pemerintah lainnya.
“Siapa yang menyangka jika kartel daging ayam bisa mencapai kerugian hingga Rp300 triliunan per tahun. Itu baru satu sektor. Belum lagi sektor lainnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pembongkaran mafia daging ayam itu dilakukan oleh KPPU tetapi tidak banyak diketahui publik. Saat ini sedang dalam proses hukum,” ucapnya.
Ia mengatakan, ada beberapa usaha yang dikartelkan, di antaranya industri farmasi, daging ayam, daging sapi, bawang merah dan bawang putih, ban mobil ring 14 dan 15, pelayanan pesan singkat (SMS) oleh beberapa operator telekomunikasi.
Daging ayam, misalnya, harga di peternak setelah diteliti hanya antara Rp10 ribu sampai Rp15 ribu per kilogram. Sementara harga di tingkat pasar modern, pasar tradisional melonjak menjadi Rp30 ribu hingga Rp40 ribu.
“Di sini sudah terjadi disparitas harga yang begitu tinggi. Bahkan, pemerintah pernah meminta untuk melakukan pengafkiran enam juta ekor ayam di Indonesia karena terjadi kelebihan stok daging ayam,” katanya.*