Sambungan artikel KEDUA
Oleh: Alwi Alatas
Banyak pengakuan-pengakuan lain tentang penyiksaan di penjara, walaupun pemerintah Iran biasanya membantah hal ini. Berikut ini hanya beberapa contoh saja. Marina Nemat, seorang aktivis mahasiswa ditangkap dan dimasukkan ke penjara Evin pada tahun 1981; umurnya ketika itu 16 tahun. Ia mengaku disiksa selama diinterogasi dengan cara dicambuk bagian telapak kakinya sampai bengkak dan hampir dihukum mati. Nemat akhirnya dibebaskan, walaupun menurutnya ada beberapa rekan penjaranya yang tidak selamat (Chiaramonte, 28 Januari 2013; Bouquet, 21 April 2007).
Ali Ashfari, seorang pemimpin mahasiswa yang ditangkap pada tahun 2001 dan dimasukkan ke penjara Evin, mengatakan pada saat diwawancarai beberapa tahun kemudian bahwa selama di dalam penjara ia mengalami “penyiksaan fisik dan penyiksaan psikologis selama beberapa bulan”. Ketika ditanya apakah maksudnya ia telah dipukul, ia menjawab, “Mereka memukul saya. Mereka tidak mengijinkan saya untuk tidur” (biasanya dengan cara menyalakan lampu sel selama 24 jam). Ia tidak dapat bertahan dan akhirnya “mengakui kesalahan” yang kemudian dipublikasi oleh pemerintah Iran (Inskeep, 19 Juli 2007; lihat juga Fathi, 14 Maret 2002).
Seorang mahasiswa yang lain, Ahmad Batebi, menyertai demonstrasi di Teheran pada Juli 1999. Di luar pengetahuannya, seorang wartawan mengambil fotonya yang sedang mengangkat pakaian temannya yang dipenuhi bercak darah dan kemudian dimuat di halaman depan The Economist. Beberapa hari kemudian, ia ditangkap oleh pihak keamanan Iran dan dimasukkan ke dalam penjara Evin. Ia dimasukkan ke dalam sel isolasi selama 17 bulan, dengan penerangan lampu selama 24 jam terus menerus. Selama masa-masa itu pula ia diinterogasi, dicambuk kaki dan punggungnya. “Mereka menendang gigi saya dan mematahkannya. Ada toilet yang berisi kotoran. Mereka memasukkan kepala saya ke dalam toilet,” terang Batebi sebagaimana dimuat dalam 60 Minutes, CBSNews (3 April 2009; lihat juga McDowall, 9 Juli 2009).
Sattar Behesti, seorang blogger yang sering mengritik pemerintah Iran di dunia maya ditangkap di rumahnya pada 28 Oktober 2012 dan dibawa ke penjara, karena “mengancam keamanan negara melalui media sosial dan Facebook”. Informasi dari rekannya di penjara menyebutkan bahwa ia disiksa selama proses interogasi. Kurang lebih seminggu kemudian, pada 6 November 2012, keluarganya dihubungi pemerintah yang mengabarkan bahwa Behesti sudah meninggal dunia dan meminta agar jasadnya diambil di penjara. Ketika keluarganya bertanya apa sebabnya Behesti meninggal, otoritas terkait mengatakan bahwa itu bukan urusan mereka. Keluarga Behesti diminta tutup mulut dan tidak memberitakan hal itu kepada publik (Barghi, 18 Januari 2013). Behesti dikuburkan secara Islam di pekuburan Behest-e-Zahra oleh pihak otoritas dengan pengamanan yang ketat dan hanya satu anggota keluarganya yang diijinkan hadir (Dehghan, 8 November 2012).
Petugas penjara yang memukuli Behesti sampai mati akhirnya memang diadili, atas tuntutan ibu korban, bukan atas inisiatif pemerintah, dan divonis tiga tahun penjara pada tahun 2014. Namun ibu Behesti merasa sangat kecewa dengan vonis ini. “Di negara di mana para jurnalis dihukum enam tahun penjara, vonis tiga tahun penjara untuk seorang pembunuh merupakan sesuatu yang ganjil,” ucapnya (International Campaign for Human Rights in Iran, 9 Agustus 2014)
Zahra Kazemi, seorang jurnalis foto keturunan Iran yang menetap di Kanada, ditangkap pemerintah Iran pada 23 Juni 2003 saat mengambil gambar keluarga tahanan yang berkumpul di depan penjara Evin. Ia dicurigai sebagai mata-mata. Empat hari kemudian tubuh Kazemi dibawa ke rumah sakit. Pasien ini ditangani oleh Shahram Aazam, dokter yang ketika diwawancarai oleh theguardian.com pada akhir 2005 sudah menetap di Montreal, Kanada. Aazam menggambarkan keadaan tubuh Kazemi ketika di bawa ke rumah sakit:
“Tulang hidungnya pecah dan darah kering berkerak di sekitar lubang hidungnya. Satu memar yang besar di sisi kanan kepalanya memanjang hingga ke telinga; jaringan di belakang tengkoraknya meradang dan dipenuhi darah. Telinganya bengkak dan dinding luar gendang telinganya rusak…. Kuku kaki dan jarinya tercabut. Jari kelingking dan jari manisnya patah di dua tempat yang berbeda. …” (Schmidt, 19 November 2005)
Kazemi meninggal dunia di rumah sakit beberapa hari kemudian. Pemerintah Iran pada awalnya mengatakan bahwa Kazemi meninggal karena serangan stroke, tetapi kemudian mengakui bahwa ia meninggal karena “pendarahan otak yang disebabkan oleh pukulan”. Walaupun begitu, pemerintah Iran tidak mengijinkan pihak luar untuk melakukan investigasi terhadap jenazah Kazemi (BBC News, 16 Juli 2003).
Bagaimanapun perlu digarisbawahi bahwa tidak semua tahanan politik mengalami penyiksaan. Ada juga tahanan yang tidak mengalaminya. Mohammad Hossein Rafiee, seorang Profesor di Tehran University, ditahan oleh pihak otoritas Iran karena mendukung program nuklir Presiden Hassan Rouhani. Selama dua bulan berada di penjara Evin, sebagaimana ditulis oleh puterinya, Anna Maryam Rafiee (3 Agustus 2015), tidak disebutkan adanya penyiksaan terhadap Rafiee. Namun, ia menceritakan tentang kondisi penjara yang sangat buruk. Beberapa bulan sebelum masuk penjara, ia menulis surat pada Presiden Rouhani:
“Saya sudah berusia 70 tahun sekarang …. Saya tidak berniat meninggalkan negeri ini atau menyerah menghadapi mereka yang berpikir bahwa satu-satunya solusi bagi masalah Iran hanyalah penjara, imigrasi, kematian, pembatasan, isolasi, dan penindasan terhadap kaum intelektual dan aktivis sosial-politik. Karena itu, saya siap untuk mati baik oleh agen-agen intelijen atau penjara, atau oleh kondisi higienis yang buruk di penjara.”
Seorang ulama Syiah dari kubu reformis, Hasan Yousefi Eshkevari, juga pernah ditahan pemerintah Iran segera setelah kepulangannya dari sebuah konferensi di Jerman pada tahun 2000. Ia antara lain dituduh telah murtad karena beberapa pernyataannya dan sempat divonis mati, tetapi akhirnya hanya dihukum sekitar empat tahun penjara. Saat ditanya oleh delegasi HAM PBB apakah ia pernah mengalami penyiksaan selama berada di dalam penjara, ia menjawab, “Jika penyiksaan yang Anda maksud adalah penyiksaan fisik, tidak, tidak pernah. Mereka bahkan tidak pernah menghina saya dengan cara apa pun.” Hal ini diceritakan dalam wawancara yang dilakukan oleh Iran Human Rights Documentation Center (25 April 2014).* (BERSAMBUNG)
Penulis buku Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III