oleh: Imam Nawawi
SEBAGAI kawasan yang disebut maju, kini Eropa menghadapi problem serius soal imigran. Sebanyak 107.500 orang tercatat telah melintasi perbatasan Uni Eropa melalui Balkan Barat. Beberapa di antara imigran ditemukan tewas mengenaskan.
Perdana Menteri Italia Matteo Renzi menyatakan bahwa Uni Eropa perlu lebih banyak hadir di Afrika dan Timur Tengah sebagai upaya meningkatkaan standar hidup dan mencegah migrasi.
Fakta ini sebenarnya termasuk masalah yang gagal diantisipasi oleh Barat secara umum. Hal ini mungkin dipicu oleh kenyamanan mereka menikmati kekayaan melalui imperiaslisme dalam kurun waktu yang tidak pendek, yang hingga kini masih terus berlanjut dalam bentuk pangan dan industri (ekonomi).
Ketimpangan pun tidak bisa dihindari. Eropa kian maju dan sejahtera, sementara beberapa negara di Asia hingga kini masih dibiarkan berkecamuk dengan perang dan ketidakadilan.
Sebagai contoh, satu orang di Barat bisa memiliki kekayaan separuh APBN suatu negara. Pada Senin, 2 Maret 2015, Majalah Forbes menempatkan Bill Gates sebagai orang terkaya sejagat. Pendiri Microsoft itu punya kekayaan sebesar US$ 79,2 miliar atau setara dengan Rp 1.027 triliun dengan kurs Rp 12.900 per dolar. Dengan kata lain, kekayaan Gates ini separuh dari anggaran belanja pemerintahan Presiden Joko Widodo yang tercantum dalam APBN Perubahan 2015 sebesar Rp 1.981 triliun.
Fakta ini setidaknya bisa dijadikan sebagai sebuah analisis bahwa problem yang kini dihadapi Eropa dalam hal imigran tidak lepas dari perilaku sejarah mereka sendiri dalam empat abad terakhir yang banyak mengeksploitasi kekayaan alam negeri-negeri Timur. Di satu sisi mereka ingin maju, namun di sisi lain, tanpa pernah peduli, mereka menciptakan kesengsaraan dimana-mana.
Selain itu, dengan kemajuannya, Barat juga berhasil menjadikan bangsa-bangsa yang dijajahnya inferior, sehingga menganggap Barat lebih baik. Artinya, sangat logis jika kemudian, mereka yang merasa negerinya tidak memberikan jaminan hidup menjadikan Eropa sebagai destinasi untuk mengungsi. Apalagi Timur Tengah, yang beberapa di antaranya tak berhenti dari kecamuk perang.
Apa yang ditulis Raghib As-Sirjani dalam bukunya Mustaraak Insan lebih membantu kita memahami situasi dunia di abad ini. Ia menulis:
”Kita dapat melihat hegemoni dan kesombongan atas kekuatan. Kita melihat sebuah kekuatan informasi yang semena-mena; bagaimana menciptakan musuh; bagaimana mengobarkan konflik sektarian, tribalisme, dan pelanggaran batas tertorial demi maslahat keuntungan para pedagang senjata global.
Selain itu, kita dapat melihat praktik-praktik pamer wibawa politik, bahkan juga penjajahan militer terhadap pelbagai kawasan yang kaya ahan baku dan sumber energi.
Kita juga melihat krisis finansial internasional dengan guncangannya yang luar biasa, menggoyang semua negara di dunia, baik yang kaya maupun yang miskin.
Semua itu terjadi di tengah situasi yang paanas akibat perasaan yang dijejali oleh sikap putus asa dan frustasi terhadap masa depan, juga disesaki oleh berbagai pemikiran konflik yang ditegakkan untuk kejahatan, yang menjadikan kejahatan sebagai satu-satunya jalan keselamatan.
Kita menakar pula bahaya yang mengancam umat manusia akibat kelancangan negara adidaya “baru” yang menempuh jalan buruk sama yang telah dilewati oleh kekuatan dunia yang telah berlalu.”
Dengan kata lain, uraian As-Sirjani menunjukkan bahwa Barat telah kehilangan daya dalam memerankan dirinya sebagai kekuatan besar dunia, terutama dalam menciptakan ketertiban dunia. Sebaliknya, Barat berada dalam kondisi frustasi dan depresi dengan konsep dan pemikiran-pemikirannya sendiri, sehingga tidak memiliki harapan pasti akan masa depan dunia.
Sistem demokrasi yang dibanggakan sebagai anak emas Barat, ternyata banyak menghadirkan warna konflik publik dengan penguasa daripada kemajuan.
Di sebagian negara, seperti Mesir, yang notabene telah menjalankan demokrasi secara penuh, ternyata justru diingkari oleh negara adidaya. Pada akhirnya, Barat secara jujur mesti berani menyatakan diri bahwa konsep dan peradabannya tidak akan mampu mengantarkan penduduk bumi bahagia di masa depan.
Tawaran Solusi
Andaikata pun Barat enggan untuk mengakui kekeliruan yang telah diperbuatnya, satu cara yang mesti ditempuh untuk menciptakan tatanan dunia damai adalah dengan memandang negara lain, khususnya Timur sama seperti mereka memandang negara-negara anggota Uni Eropa.
Terbentuknya persatuan di Eropa adalah wujud kesadaran mereka yang sepanjang sejarah hidup dalam pertikaian dan peperangan, sehingga Eropa sempat mengalami yang namanya dark age (masa kegelapan).
Dan, menurut As-Sirjani, terbentuknya Uni Eropa itu tak lepas dari penelitian panjang Barat terhadap kunci kekuatan dan keberhasilan umat Islam dalam mewarnai dunia, yakni persatuan. Di mana pada saat yang sama mereka melihat bahwa perpecahan adalah sumber kelemahan. Tidak berlebihan jika kemudian, Menlu Amerika Serikat, Henry Kissinger berkata, “Lahirnya Uni Eropa dan persatuan negara-negara Eropa merupakan salah satu revolusi paling besar di zaman kita sekarang ini.”
Pun, sekiranya Barat tidak berkenan dengan tawaran di atas, maka setidaknya Barat jangan membuat masalah baru dengan mengintimidasi, memprovokasi dan menghalang-halangi kelompok lain (umat Islam) dalam membentuk kekuatan guna ikut serta menciptakan ketertiban dan kedamaian dunia, yang dalam sejarahnya Islam telah mampu menjadikan Barat lepas dari abad kegelapan.
Pada akhirnya, sangat penting bagi umat Islam sendiri untuk kembali hadir dengan memberikan solusi-solusi Islami untuk menjawab kekacauan dunia masa kini. Kerja keras untuk menyusun konsep yang komprehensif dalam memulihkan segala keterpurukan dunia perlu disajikan. Dan, pada saat yang sama, tradisi mengamalkan ajaran Islam secara utuh juga mesti dibangun.
Kita mesti memandang Barat sebagai peradaban yang sakit, dan lemah serta tak lagi berdaya untuk mengatasi masalah yang mereka ciptakan sendiri.
Jika Allah menyebut Al-Qur’an ini adalah obat, mengapa tidak, segera kita temukan penawar dari kekeruhan dunia ini dengan basis Al-Qur’an dan Sunnah. Warisan ulama dan intelektual Muslim lebih dari cukup untuk menjawab problem terunyam sepanjang sejarah umat manusia ini.
Insya Allah ke depan dunia akan berada dalam kedamaian (baldatun thoyyibatun warabbun ghafur). Meskipun sekali lagi, ini diperlukan kebesaran jiwa Barat sebagaimana besarnya jiwa mereka bersatu dalam naungan Uni Eropa. Wallahu a’lam.*
Penulis anggota Syabab Hidayatullah
NB: Rubrik Mimbar adalah kolom khusus suara pemuda dan mahasiswa