Sambungan artikel PERTAMA
Dr. Yusuf Qaradhawi menjelaskan kesimpulan dari pandangan diskursus tentang demokrasi dan Islam ; bahwa sepanjang sejarah umat Islam yang panjang melawan kedzaliman dan tirani, baik itu dari orang-orang sombong, raja-raja, pemimpin-pemimpin sampai hari ini, di dapati bahwa sistem demokrasi adalah sistem yang ideal untuk melindungi kebebasan masyarakat dari dikator. Walaupun tidak bisa di pungkiri ada beberapa kekurangan, karena ia adalah sistem buatan manusia. Tinggal kelihaian kitalah yang memanfaatkan gaya-gaya demokrasi untuk merealisasikan syuro, keadilan dan penghormatan hak-hak manusia, juga menentang segala bentuk kesewenang-wenangan para pemimpin di muka bumi.
Bahkam lebih dalam lagi menurut Elvandi, tidak ada keterangan syar’i yang melarang kaum Muslimin mengambil manfaat dari pemikiran, teori, serta produk orang-orang selain Islam. Sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassllam juga melakukannya pada Perang Ahzab. Yaitu dengan menggali parit, padahal itu strategi orang kafir Persia.
Demokrasi seperti itulah yang harus kita fahami bersama, sebagaimana pandangan Mursyid ‘Am Ikhwanul Muslimin yaitu Hudaiby yang mengatakan, “Jika demokrasi berarti rakyat menentukan siapa yang akan memimpin mereka, Ikhwan menerima demokrasi. Namun jika Demokrasi berarti rakyat dapat mengubah hukum-hukum Allah dan mengikuti pendapat mereka, Ikhwan menolak demokrasi. Ikhwan hanya mau terlibat dalam sistem yang memungkingkan syariat Islam di berlakukan dan kemungkaran di hapuskan.”
Konklusi nya yang harus kita pahami adalah bahwa Islam, tidak mewariskan sistem ketatanegaraan secara mutlak dalam Al-Qur’an, Hadist atau sejenisnya. Islam mewariskan nilai-nilai yang itu kemudian di implementasikan dalam sistem yang sesuai kondisi sosiologis, geografis, kultur dan budaya suatu Negara dan Zaman nya. Pada prinsip nya umat Islam di perbolehkan menggunakan sistem apapun, asalkan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadist dan membawa kemaslahatan kepada ummat. Karena dari zaman Rasul dan khilafah Turki Utsmani terakhir, proses peralihan kepemimpinan itu berbeda dengan sistem yang berbeda.
Zaman Rasul, pengelolaan pemerintah terpusat kepada Rasulullah, Shalallahu ‘Alaihi Wassllam beliau sebagai Presiden (eksekutif), juga sebagai pengawas bagi masyarakat jazirah Arab, dan juga yang memberikan keputusan bagi setiap konflik dan perdebatan (hakim), jika konsep pemerinatahan Rasulullah di terapkan di Indonesia dengan seorang Jokowi menjadi Presiden, juga menjadi DPR dan MK yang memutuskan hukuman, tentu akan ramai gelombang protes dan kemarahan. Memang tidak sesuai, kultur dan sosiologis zaman Rasullah dengan zaman sekarang.
Namun yang perlu di tekankan, dalam perspektif Islam, demokrasi tidak lah final, jika ada pemikir Muslim yang membuat sistem baru yang lebih membawa maslahat kepada ummat dan menambal kelemahan demokrasi, sudah seharusnya kepentingan umat Islam beralih kepada sistem tersebut. Sembari menunggu momentum tersebut, mari kita sebagai elemen kaum Muslimin, berhenti berdebat pada tataran memahami demokrasi, sekarang kita sudah harus memikirkan bagaimana memenangkan Demokrasi dalam Islam dan merekonstruksi kemenangan itu.*
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Aktif di komunitas Indonesia Tanpa Jil (ITJ). e-Mail: [email protected]