Hidayatullah.com– Harakah al-Muqawamah al-Islamiyah (Gerakan Perlawanan Islam/Hamas) menggambarkan pengunduran diri Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman sebagai “kemenangan politik untuk Gaza”, di tengah gencatan senjata yang menimbulkan konflik internal penjajah.
Juru bicara Hamas Sami Abu Zuhri mengatakan pada hari Rabu bahwa pengunduran diri Lieberman mengisyaratkan “pengakuan kekalahan dan kegagalan untuk menghadapi perlawanan Palestina”, menambahkan bahwa “ketekunan Gaza telah mengirim gelombang kejut politik” melalui Israel.
Lieberman mengatakan dia mengundurkan diri sebagai protes atas gencatan senjata yang ditengahi Mesir yang dicapai dengan kelompok-kelompok pejuang di Gaza, tulis Aljazeera.
Baca: Netanyahu Menerima Gencatan Senjata, Rakyat Gaza Turun Jalan Sambut Kemenangan
Gencatan senjata, diumumkan pada Selasa oleh faksi-faksi yang dipimpin Hamas, dimaksudkan untuk mengakhiri dua hari serangan udara penjajah atas Gaza setelah ‘operasi rahasia Israel’ yang gagal di wilayah itu, dan dibalas faksi Palestina dengan tembakan roket.
Setidaknya 15 warga Palestina dan dua orang Israel tewas dalam dua hari dalam kekerasan terburuk yang terjadi dalam dua tahun.
Bahkan, serangan roket militan Gaza menjangkau kota di tepi Laut Merah, Ashkelon, berjarak hanya 50 kilometer dari Tel Aviv. Satu orang tewas di kota itu.
Baca: Usai Bunuh Komandan al-Qassam, Zionis Hujani Gaza 370 Roket
“Apa yang terjadi kemarin, kesepakatan gencatan senjata melalui proses dengan Hamas, menyerah pada teror. Itu tidak memiliki arti lain,” kata Lieberman, dikutip dari AFP.
“Apa yang dilakukan negara sekarang adalah membeli kesenyapan (gencatan senjata) jangka pendek dengan harga yang bisa merusak jangka panjang lebih parah terhadap keamanan nasional,” ujarnya lagi.
Lieberman mengundurkan diri karena tak sepakat dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang memenuhi permintaan Hamas untuk gencatan senjata. Aksi saling serang pada Ahad dan Senin merupakan ekskalasi terparah sejak perang tahun 2014.
Pengunduran diri Lieberman secara signifikan melemahkan pemerintah koalisi yang berkuasa Netanyahu dan tampaknya akan membawa Pemilu dipercepat.*