Oleh: Emma Lucya
SELAMA ini sebagian dari kita berpikir, apa mungkin bisa menyatukan umat Islam sedunia? Itu hal yang tidak mungkin. Utopis. Menyatukan antarormas Islam atau antarharokah dakwah saja sulit. Pada satu kasus, harakah yang satu membolehkan, yang satu bilang bid’ah. Yang satu memakai qunut, yang lain tidak. Jangankan antargolongan, dalam satu golongan yang sama saja ada banyak perbedaan pendapat. Apakah mungkin kondisi yang demikian ini bisa dilebur jadi satu? Ah, itu tidak mungkin.
Begitukah pemikiran kita selama ini? Detik ini kita telah dihadirkan sebuah fakta bahwa perbedaan-perbedaan tersebut tidak menjadi halangan kita untuk bersatu. Ya, bersatu pada hal-hal yang pokok dan mendasar yaitu akidah. Aksi 212 di Indonesia tahun 2016 dan 2018 contohnya. Aksi ini didorong oleh semangat akidah dan persatuan umat.
Akidah kita satu, sama-sama mengesakan Allah Subhanahu wa ta’ala. Tuhan kita sama, ka’bah kita semua juga sama. Artinya, sebenarnya perbedaan-perbedaan diantara ormas dan harokah itu hanyalah pada hal-hal cabang (furu’) seperti fikih, bukan pada hal yang mendasar terkait akidah.
Perbedaan itu menunjukkan kepada kita betapa kayanya khasanah ilmu dan peradaban Islam sehingga umat Islam sejak zaman para sahabat Rasulullah ﷺ berlomba-lomba untuk berijtihad secara syar’i untuk menemukan kebenaran dalam beribadah. Itu adalah bukti bahwa umat Islam pada sejarah peradabannya dulu senantiasa menggali dalil-dalil syariat secara sungguh-sungguh sesuai ilmu dan kapabilitas masing-masing. Maka sebenarnya perbedaan diantara umat Islam ini adalah fitrah dan selayaknya bisa kita pergunakan untuk bersikap lebih bijak dalam menghadapi pendapat syar’i orang lain yang berbeda dengan kita.
Aksi Bela Tauhid 212 di Monas pada 2018 ini menunjukkan kepada kita bahwa umat Islam sejatinya bisa bersatu. Tidak tersekat oleh ormas, golongan, mazhab atau partai. Kita bisa lihat, jutaan orang dari berbagai daerah di Indonesia tumpah-ruah menjadi satu. Berkumpul untuk menyuarakan hal yang satu yaitu membela kalimat tauhid Laailaaha illallah muhammadarasulullah, akibat aksi pembakaran bendera tauhid oleh oknum ormas beberapa waktu yang lalu. Ini adalah momen besar bagi kaum muslimin, tidak hanya di Indonesia tapi juga untuk umat Islam sedunia.
Semangat persatuan yang telah berhasil kita pupuk sampai sejauh ini harus terus kita jaga. Jangan sampai karena kepentingan praktis dari satu golongan kemudian semangat persatuan ini berubah haluan, misalkan menjadi alat kepentingan politik praktis.
Jika lebih jauh lagi kita melihat, apakah mungkin umat Islam sedunia bisa bersatu? Jika kita melihat sejarah peradaban Islam di masa kegemilangan Kekhilafahan Islamiyyah, dua pertiga dunia pernah berada dalam wilayah kekuasaannya. Akidah Islam yang menyatukan umat Islam pada saat itu. Itu adalah sejarah di masa lalu. Bagaimana dengan masa mendatang? Apakah mungkin kaum muslim sedunia bisa bersatu lagi? Apakah mungkin Islam bisa menghilangkan sekat nasionalisme (nation state).
Padahal, lembaga think tank Amerika National Intelligence Council’s (NIC) telah merilis sebuah laporan yang berjudul “Mapping the Global Future”.
Salah satu poin penting dalam laporan itu adalah gambaran tentang nasib umat Islam di masa mendatang. Diprediksikan bahwa pada tahun 2020 akan berdiri kembali “A New Chaliphate” -khilafah Islam- yang ditakutkan AS.
Amerika saja sudah meramalkan tentang persatuan umat Islam sedunia berdasarkan data-data akurat mereka, lalu bagaimana sikap umat muslim sendiri? Wallahu a’lam bish-showwab.*
Aktivis Forum Muslimah Indonesia (ForMind)