Dalam Konferensi tentang Afghanistan di Lancaster House, London, Inggris, terdengar sebuah berita bahwa Amerika Serikat (AS) dan Inggris hendak ‘menyuap’ Taliban dengan dana sebesar 500 juta US$ atau sekitar Rp4,7 triliun. Rencana penyuapan itu untuk membiayai program reintegrasi gerilyawan Taliban.
Program reintegrasi digunakan untuk membujuk sekitar 25 ribu tentara Taliban melepaskan senjatanya, turun dari gunung, dan kembali menjalani kehidupan bermasyarakat seperti biasanya. Bila para Taliban setuju dengan program reintegrasi, mereka akan ditawari pekerjaan, pendidikan, pemberian uang tunai, dan perlindungan. Program reintegrasi dirasa oleh kalangan pemerintah Afghanistan dan Barat bisa efektif karena konflik yang berkepanjangan di negeri itu bukan karena ideologi, namun karena faktor ekonomi dan kesejahteraan hidup. Program reintegrasi memang benar dibutuhkan oleh masyarakat, hal ini berdasarkan pengakuan seorang gadis yang tinggal di perbatasan Afghanistan dan Pakistan sebagai korban pertikaian antara Taliban dengan tentara AS. Sabar Mina, gadis itu, mengatakan, dirinya hanya ingin memiliki sebuah pekerjaan. Sebuah pekerjaan yang tidak ada melukai dirinya.
Mengapa AS melakukan program reintegrasi? Beberapa alasan yang menyebabkan hal tersebut adalah, pertama, biaya operasi militer AS dari tahun ke tahun semakin tinggi, dengan tentara AS yang depresi mencapai ribuan jumlahnya. Dengan demikian program reintegrasi menunjukan gagalnya misi dan operasi militer AS di Afghanistan.
Ketika Presiden AS Barack Obama mengirimkan kembali 30.000 tentaranya ke Afghanistan, pengiriman tentara Amerika Serikat yang kesembilan kalinya, ini menunjukan gagalnya atau tidak berhasilnya operasi militer AS di Afghanistan yang dilakukan sejak tahun 2001-2002 itu.
Dilihat dari grafik pengeluaran untuk Perang Afghanistan dari tahun ke tahun semakin melonjak. Disebut untuk mengirimkan tentara sebanyak 30.000 itu, pemerintah AS mengeluarkan biaya sebesar US$30 miliar untuk masa satu tahun. Bila dirinci biaya perang dalam sebulan US$3.6 juta. Masing-masing tentara dalam satu tahun memakan biaya US$1 juta.
Lalu sejauh mana dampak dari pengiriman pasukan tambahan itu? Sepertinya Amerika Serikat akan mengalami masalah seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Secara teknik pertempuran, gerakan Taliban lebih cenderung menggunakan sistem perang gerilya atau perang gunung sehingga mempersulit tentara AS untuk mendeteksi gerakannya. Selain itu secara sosiologis, ada kedekatan antara Taliban dan rakyat sehingga secara diam-diam rakyat ikut membantu pertempuran. Waktu 9 tahun untuk berperang merupakan masa yang cukup lama, bahkan lebih lama dari Perang Dunia I (1914-1918), Perang Dunia II (1939-1945), Perang Iraq-Iran (1980-1988), dan Perang Korea (1950-1953).
Susahnya AS menumpas Taliban tidak hanya disebabkan teknik peperangan dan sosiologi kedekatan antara rakyat dan kedua kelompok militer itu, namun juga disebabkan Hamid Karzai sebagai Presiden Afghanistan terbukti gagal dalam memimpin Afghanistan. Dosen Universitas Kabul, Saifudddin Saihun, mengecam, Hamid Karzai tidak mengembangkan strategi perdamaian bagi masyarakat Afghanistan, setelah berakhirnya perang saudara dan invasi AS. Menurutnya dalam 7 hingga 8 tahun terakhir, pemerintahan Hamid Karzai gagal melaksanakan tugas mengembangkan dan menerapkan konsep yang memadai dan strategi militer bagi pertahanan Afghanistan. Menyangkut jaminan perdamaian dan keamanan, pemerintah terlalu mengandalkan masyarakat internasional.
Banyak ahli menganggap pemerintahan Hamid Karzai bertanggungjawab atas kesengsaraan di negeri itu. Selama ini Hamid Karzai bukannya mengolah dan menerapkan strategi yang sesuai, ia malah berkonsentrasi memperluas basis kekuasaannya. Ia menjalin aliansi yang meragukan dengan para bangsawan daerah dan membuat konsesi politik dengan kekuatan Islam.
Sebenarnya dalam Pilpres Afghanistan kemarin, AS hendak memilih siapa yang bisa dijadikan boneka yang mempunyai pola kepemimpinan yang lebih baik, lebih bersih, daripada Hamid Karzai. Namun figur atau sosok yang diinginkan itu tidak ada. Meski ada capres lain seperti Abdullah Abdullah, Ashraf Ghani Ahmadzai, Abdul Latif Pedram, dan Shahnawaz Tanai, namun AS masih meragukan kemampuan mereka. Sehingga meski pemilu kemarin Hamid Karzai melakukan kecurangan, namun AS membiarkan.
Hamid Karzai adalah sosok koruptor. Kebiasaan korupsi inilah yang tidak disukai oleh AS. AS demikian kerasnya agar Hamid Karzai melakukan pemberantasan korupsi, hal itu ditekankan oleh Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton. Hamid Karzai sendiri ketika pidato dalam pelantikan dirinya menjadi Presiden juga ingin menunjukan komitmennya itu. Dia berjanji akan memberantas korupsi dan akan mengadakan konferensi di Kabul guna mengatur cara-cara baru dan efektif memerangi korupsi.
Hadirnya kekuatan NATO yang diboncengi Amerika Serikat dan pemerintahan Hamid Karzai yang korup itulah yang menyuburkan dukungan kepada Taliban dari masyarakat. Oleh sebab itu program reintegrasi ini patut diapresiasi. Program ini akan mendistribusi ekonomi dan kesejahteraan ke banyak pihak di Afghanistan, terutama kepada anggota Taliban dan keluarganya. Untuk menawarkan program ini tentu akan dikembalikan ke Taliban, sejauh mana kelompok itu mau menerima. Selama ini Taliban adalah kelompok yang sangat sulit diajak kompromi. Mereka terlalu kaku dalam menafsirkan keyakinan yang dianutnya, seperti perempuan dilarang bekerja, dilarang bersekolah, dan dilarang keluar dari rumah.
Asumsinya, bila Taliban menolak program reintegrasi, ia akan dijauhi oleh masyarakat, sebab yang diinginkan oleh masyarakat adalah apa yang dikatakan oleh Sabar Mina tadi. Bila tidak didukung masyarakat, maka Taliban dengan sendirinya akan melemah.
Kedua, program reintegrasi ini dilakukan untuk mengalihkan operasi militer AS yang terkonsentrasi di Afghanistan ke Yaman. Berdasarkan kemungkinan berpindahnya basis Al Qaeda dari Afghanistan ke Yaman, membuat AS berpikir agar di Yaman dilakukan operasi militer, dan hal itu disepakati oleh Obama.
Tentu AS akan kekurangan tentara bila tetap melakukan operasi militer di Yaman dan Afghanistan secara bersamaan. Untuk mensuplai tentara ke Yaman, makanya AS mengambilnya dari Afghanistan. Dari sinilah maka program reintegrasi dilakukan. Tetapi, apakah kira-kira program seperti akan manjur diterapkan pada Taliban? Waktu akan menjawabnya.
Penulis adalah pengamat Hubungan Internasional dan Pengurus Presidium Nasional Masika ICMI