Oleh: Yacong B Halike
PERSIS sepekan usai dihebohkan aksi penyerangan kantor redaksi majalah satire Prancis, Charlie Hebdo, pada Rabu, 7 Januari 2015 lalu, di dalam negeri mencuat juga peristiwa yang tak kalah gaduh.
Pertahanan terakhir lembaga anti rasuah negeri ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Selasa, 13 Januari 2015, memutus status tersangka kepada seorang tokoh nasional yang tak pelak kemudian berdampak cukup serius khususnya di awal awal-awal kepemimpinan Jokowi-JK.
Mengejutkan, memang. Beberapa hari saja menjelang uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR RI terhadap Komjen Polisi Budi Gunawan, KPK tiba-tiba mengumumkan penetapan tersangka bagi BG. Sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang diajukan presiden, keputusan KPK tersebut tak pelak langsung memantik perhatian khalayak ramai.
Ketua KPK Abraham Samad yang mengumumkan langsung penetapan tersangka tersebut, mengatakan KPK telah menemukan lebih dari dua alat bukti ke penyidikan. Komjen Budi Gunawan disangka kasus tindak pidana korupsi saat menjabat sebagai Kepala Biro Kepala Pembinaan Karier.
Tim penyidik KPK mengklaim telah menemukan transaksi yang tidak wajar. Penyelidikan terhadap Budi Gunawan sendiri disebut telah dilakukan sejak pertengahan 2014 atau telah berjalan setengah tahun lebih.
Pada peristiwa Charlie Hebdo, tidak perlu menunggu lama, di Paris, dan umumnya masyarakat di Barat segera serempak menyuarakan slogan “Je Suis Charlie” atau “Aku adalah Charlie”, sebagai narasi protes terhadap pengekangan kebebasan berekspreasi dan berpendapat. Sejumlah pemimpin negara di Eropa dan Amerika, tak ketinggalan juga Indonesia, turut mengecam aksi yang menewaskan 12 orang termasuk wartawan media satire tersebut.
Secara manusiawi, siapa pun, tentu tidak akan sepakat dengan vandalisme dan ragam jenis kekerasan fisik lainnya yang menumpahkan darah. Sebab, tindakan semacam itu dianggap hanya akan menumbuhkan kebencian baru serta sentimen yang tidak pernah selesai.
Namun, kita harus jujur, bahwa dalam konteks krisis Paris, kita agaknya harus mengakui kentalnya aroma anomali dimana kebebasan telah terkonsensus sebagai kehendak tanpa batas. Padahal, bagi siapa pun Muslim, perwujudan fisik Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam apalagi dalam bentuk kartun bukanlah sebuah lelucon.
Terlepas dari itu semua, rasanya kita segendang sepenarian bahwa perilaku lancung korupsi adalah kejahatan barbar yang dampaknya dapat melebihi tindak kekerasan yang dilakukan pelaku teror. Keduanya jelas sama-sama memilili daya rusak luar biasa sehingga dengan itu harus dilawan.
Meminjam slogan berbahasa Prancis yang mencuat pada tragedi Charlie Hebdo, maka tidak berlebihan rasanya di sini segera diusung “Je Suis Abraham”, yang berarti setiap kita adalah Abraham. Kita semua bersama KPK!.
Je Suis Abraham, bagi kita, adalah sebuah gerakan bersama masyarakat Indonesia yang masih peduli dengan kebiwabawaan bangsa. Kita mendukung Abraham Samad dkk sebagai reprentasi perlawanan terhadap praktik rasuah akut di negeri ini.
Tampaknya rakyat memang sudah muak. Umumnya mereka mengapresiasi penuh setiap keputusan KPK yang dalam berbagai sudut pandang memang dinilai berisiko. Tetapi, sebagaimana keputusan-keputusan KPK lainnya yang tak jarang menyasar kalangan atas, selalu saja ada pihak-pihak tertentu menjadi kalap.
Kekalapan itu, misalnya dapat dilihat dengan beredarnya foto mesum Pak Ketua dengan seorang wanita muda tak lama setelah pengumuman keputusan tersangka tersiar. Bahkan belakangan beredar tulisan di internet yang menyebut Abraham memiliki dendam pribadi dengan tersangka dan sejumlah intrik politik lainnya.
Abraham Samad sendiri, dan para serdadu KPK secara umum, tampaknya tak terlalu peduli dengan berbagai “serangan-serangan” tersebut. Adapun mengenai foto mesum yang beredar telah dikonfirmasi sejumlah pakar sebagai editan. KPP tetap terkonsentrasi pada masalah utama.
Kita Butuh KPK!
Dalam melawan korupsi di negeri ini, kita patut bersyukur. Sebab, masyarakat Indonesia telah bersepakat bahwa korupsi adalah virus akut yang harus dibasmi bersama. Tidak ada bendera KMP atau KIH di sini. Semua satu suara, bahwa tindak rasuah adalah musuh kita.
Barangkali semangat perlawanan itu pulalah yang mendorong perwakilan relawan Salam Dua Jari, Fadjroel Rachman, segera mendatangi Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada Kamis (15/01/2015) lalu untuk mendesak presiden membatalkan niatan melantik Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kapolri. Relawan Salam Dua Jari kita tahu adalah basis massa pendukung Jokowi saat masa kampanye pilpres 2014 lalu.
Dukungan organisasi masyarakat juga terus mengalir untuk KPK. Termasuk tokoh-tokoh nasional kita yang tak lelah terus menyuarakan penyelenggaraan negara yang sehat, bersih, dan jauh dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Presiden Joko Widodo pun didorong untuk terus melanjutkan tradisi ketatanegaraan yang selama ini telah dibangun.
Dan, rasanya memang agak sulit menampik sejumlah analisa bahwa presiden telah dipengaruhi banyak kepentingan sehingga terkesan independensinya teranulir. Sehingga tidak berlebihan banyak pihak mengharapkan presiden dapat mengelola pengaruh-pengaruh tersebut agar slogan revolusi mental yang diusungnya pada masa kampanye lalu tak lekas usang. Kita selalu optimis, karena kita masih melihat ada keinginan besar penguasa saat ini untuk membawa bangsa ini menjadi lebih baik dan bersih dari praktik korupsi.
Abraham Samad tentu saja bukan malaikat. Begitupula dengan Zulkarnain, Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Praja, dan personil KPK lainnya. Mereka, dan juga keluarganya, adalah manusia biasa sebagaimana kita yang tidak lepas dari khifaf dan juga rasa bersedih. Yang berbeda, barangkali, mereka memikul amanah yang lebih berat.
Menyadari beratnya amanah yang dipikul, keluarga Abraham Samad di Makassar tampaknya harus lebih bersabar. Kakak Abraham Samad, Imran Samad, dalam pernyataannya kepada media lokal mengaku keluarga telah siap dengan segala hal negatif yang menimpa Abraham dalam menjalankan amanahnya, termasuk jika Abraham dibunuh.
Akhirnya, tanpa dukungan masyarakat dan –tentu saja- media yang konsisten menganut independensi murni, mustahil KPK dapat terus bertahan. KPK ada karena masih dibutuhkan dan demikianlah adanya. Sejatinya KPK bisa dibubarkan kapan saja, tetapi karena dukungan rakyatlah ia tetap ada untuk menjaga kewibaaan bangsa.
Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissalam atau Abraham dalam keyakinan Kristen, tugas komisi pemberantasan korupsi sejatinya adalah dalam rangka mengingatkan kita agar tidak terjemumus pada perilaku menyimpang dari fitrah kemanusiaan kita. Sebagaimana pula peran agama yang hadir untuk memanusiakan manusia agar manusia menjadi manusia.
Maka anehlah rasanya kalau ada pihak-pihak tertentu yang selalu saja menyerang dan berusaha mengkriminalisasi KPK bahkan dengan berlindung di balik identitas anonim, kita curiga, jangan-jangan mereka ini merupakan bagian dari pendukung gerombolan pelaku rasuah.
Pada akhirnya segalanya kembali kepada pribadi masing-masing. Mau jadi manusia, silahkan. Memilih tidak manusiawi juga monggo. Yang pasti, sebagaimana dalam keyakinan Islam, perbuatan baik akan terbalaskan dengan kebaikan, begitupun dengan kejahatan.
Titah dari Tuhan Yang Satu pun dengan jelas menerangkan hal itu kepada segenap alam sebagaimana di dalam Ar Zalzalah nomor urut 7-8:
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ
وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”
Penulis adalah freelancer di sejumlah proyek sosial