Oleh: Parwis L. Palembani
ADANYA hukum dibuat untuk mengatur dan menjaga sistem sosial, politik, ekonomi, dan sebgainya. Sehingga adanya pemerintah bertugas untuk menjamin dan menegakkan supremasi hukum itu, lalu dengan adanya kepastian hukum yang kuat dan kokoh ditegakkan akan menjamin kenyamanan dan keamanan masyarakat itu sendiri.
Masyarakat sipil akan merasa aman dan nyaman menjalankan kehidupan, tidak ada rasa was-was, takut dan teror, ini berimbas pada sistem perekonomian yang stabil, dari sisi kesejahteraan ekonomi akan memuaskan.
Jika kita perhatikan di atas, ternyata tegaknya hukum memiliki peranan penting dalam suatu masyarakat atau pemerintahan, maka wajar jika kita baca dalam sejarahnya banyak pemimpin-peminpin Islam sangat perhatian sekali dalam menjamin tegaknya hukum, menindak yang bersalah, menjatuhkan sanksi yang seimbang sesuai kejahatannya yang seberat-seberatnya bagi pelaku kejahatan, terutama jika itu menyangkut kemanan dan keterbiban sipil, apalagi berupa terror.
Karena ini yang dirugikan bukan lagi individual, tapi sudah bersifat umum dan menyulur.
Al-Qur’an sangat tegas memberikan sanksi pidana pelaku kejahaatan ini:
إِنَّمَا جَزَٰٓؤُا۟ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسْعَوْنَ فِى ٱلْأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓا۟ أَوْ يُصَلَّبُوٓا۟ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَٰفٍ أَوْ يُنفَوْا۟ مِنَ ٱلْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْىٌ فِى ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿٣٣﴾
“Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.” (Q.S. Al-Maidah: 33)
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS: Al Maa-idah: 8]
Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk selalu menegakkan kebenaran dan berlaku adil.
Seorang wanita di jaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sesudah Fathu Makkah telah mencuri. Lalu Rasulullah memerintahkan agar tangan wanita itu dipotong.
Usamah bin Zaid menemui Rasulullah untuk meminta keringanan hukuman bagi wanita tersebut. Mendengar penuturan Usamah, wajah Rasulullah langsung berubah.
Beliau lalu bersabda : “Apakah kamu akan minta pertolongan untuk melanggar hukum-hukum Allah Azza Wajalla?” Usamah lalu menjawab, “Mohonkan ampunan Allah untukku, ya Rasulullah.”
Pada sore harinya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berkhotbah setelah terlebih dulu memuji dan bersyukur kepada Allah. Inilah sabdanya : “Amma ba’du. Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan bila seorang bangsawan mencuri dibiarkan (tidak dihukum), tetapi jika yang mencuri seorang yang miskin maka dia ditindak dengan hukuman. Demi yang jiwaku dalam genggamanNya. Apabila Fatimah anak Muhammad mencuri maka aku pun akan memotong tangannya.” Setelah bersabda begitu beliau pun kembali menyuruh memotong tangan wanita yang mencuri itu.” (HR. Bukhari)
Di negeri kita yang tercinta ini, ketika hukum sudah tumpul ke atas, tajam ke bawah, masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada penegak hukum, maka wajar jika masyarakat punya hukum tersendiri, tidak sedikit berakhir dengan pengroyokan, pemukulan, dan lebih parahnya lagi terjadi pembakaran.
Hukum kita sudah kehilangan maksud dan tujuan, sanksi hukum yang seharusnya membuat jera pelaku kejahatan, justru menjadi ajang transaksi jual beli pasal dan ayat hukum.
Hukum mati sudah pernah dilakukan di negeri ini, bahkan baru-baru ini, tapi hukuman mati yang seharusnya menjadi media sock theraphy bagi masyarakat justru berakhir dengan kecurigaan dan ketidak-percayaan dari masyarakat.
Betapa tidak, karena proses eksekusi tersebut tersembunyi, tidak diketahui apa dan bagaimana prosesnya, stelah itu jenazah terpidana mati tidak ada yang tahu apakah di peti mati tsb apakah jasad terpidana mati atau bukan, bukannya masyarakat semakin percaya terhadap hukum, tapi berakhir sebaliknya yang penuh kecurigaan dan lain-lain.
Dalam pidana Islam, lebih menekankan aspek sock theraphy sekalipun berakhir dengan hukuman pancung dsb, walau begitu dia akan membuat masyarakat menahan diri untuk melakukan pidana karena dia khawatir jika dirinya nanti akan bernasib sama seperti yang dia saksikan ketika itu.
وَلَكُمْ فِى ٱلْقِصَاصِ حَيَوٰةٌ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٧٩﴾
“Dan dalam qişāş itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 179)
Kehidupan yang dimaksud dalam ayat ini adalah banyak warga atau HAM-HAM lain yang terselamatkan dengan adanya hukum berat tsb, sekalipun berupa hukuman pancung.
Marilah kita kembali solusi yang sudah diberikan langsung oleh yang menciptakan manusia, yaitu Allah Subhanahu Wata’ala dalam Al-Qur’an & Sunah Rasul, Allah maha cerdas membuat hukum dalam segala aspek, pasti cara-Nya lebih unggul dibandingkan cara manusia yang setiap hari dan tahun kita saksikan bersama kelemahan-kelemahannya yang tak mampu menjadi solusi yang diharapkan.
Jika Anda belum mampu menerima logika hukum Allah, bahkan dikatakan tidak manusia dan melanggar HAM, maka cobalah timbang keadilan hukum Allah seakan Anda sebagai keluarga korban, maka saat itu anda baru tahu bahwa ternyata hukum Allah begitu sangat adilnya.
Jika menolak hukum Allah, maka jangan salahkan jika akan terulang lagi kasus Yuyun-Yuyun yang lainnya.*
Penulis peminat masalah hukum. FB: Parwis L. Palembani. Email: [email protected]