Oleh: Muhammad Pizaro
KAPAL bantuan kemanusiaan dari Turki akhirnya tiba di Jalur Gaza melalui Israel, seminggu setelah kedua negara meneken kesepakatan untuk mengakhiri keretakan hubungan selama enam tahun. Bantuan kemanusian yang dikirimkan Turki adalah salah satu bentuk persyaratan kesepakatan. Menlu Turki Jawish Oglu mengatakan, pengiriman ini adalah langkah pertama untuk mengangkat blokade atas Gaza. Pertanyaannya, akankah ini menjadi kenyataan?
Posisi Israel
Normalisasi antara Turki dan Israel adalah era baru yang menggambarkan hubungan politik di Timur tengah. Sejak awal, banyak analis dan media Israel telah menjelaskan kian lemahnya kekuasaan Isarael di Timur Tengah. Upaya Israel mendekat ke Turki dapat dilihat sebagai upaya stabilisasi posisi Israel. Dalam konferensi persnya di Roma, Netanyahu menggambarkan kesepakatan ini sebagai kepentingan strategis Israel, dalam bidang keamanan, stabilitas regional, dan ekonomi.
Sebagai perdana menteri, Netanyahu mengaku bertanggung jawab atas kepentingan strategis Zionis. Ia harus menggunakan cara pandang jangka panjang dan luas dengan berdasarkan pemahaman masalah internasional, keamanan dan kebutuhan ekonomi Israel di masa kini dan akan datang.
Pada tahun 2013, Aluf Benn, Pemimpin Redaksi Hareetz.com, sudah menganalisis dampak dari hilangnya Israel aliansi dengan Turki dalam geopolitik Timur Tengah. Hal itu diperparah oleh kekhawatiran tentang memburuknya situasi keamanan setelah meletusnya revolusi Suriah. Karena itu, Israel mendekat ke Presiden Suriah, Bashar Asad.
Benn menekankan, selama tiga tahun terakhir, Netanyahu adalah sekutu senyap Assad. Dengan tidak stabilnya kondisi Suriah, terjadinya pelanggaran di perbatasan dan upaya menjatuhkan Asad, Israel akhirnyamendukung Damaskus. Negara zionis itu juga menyatakan khawatiran jatuhnya senjata kimia dan rudal ke tangan oposisi.
Pada gilirannya, Israel pun menerima kerjasama bidang militer dan pertahanan sebelum Rusia menyerang basis oposisi pada September 2015. Langkah ini menunjukkan bagaimana lemahnya kekuasaan Israel dan dapat dilihat sebagai upaya untuk mempertahankan eksistensinya.
Mengenai normalisasi, pertanyaannya adalah, akankah normalisasi Turki-Israel mengakhiri blokade Gaza?
Sejatinya tuntutan-tuntutan Turki adalah hal yang berat bagi Israel, khususnya, perysaratan untuk mengangkat blokade Israel. Hal ini dapat kita lihat dari sikap Netanyahu yang menolakupaya Turki untuk mendapatkan akses kemanusiaan langsung ke Gaza. Netanyahu menekankan bahwa Tel Aviv akan tetap pada blokade pertahanan maritim dan meminta bantuan itu harus melalui Pelabuhan Ashdod.
Kabarnya, Israel awalnya tidak ingin membahas blokade dan menolak segala konsesi apapun. Dua kutub pendapat ini akhirnya dinegosiasikan untuk menemukan jalan tengah dengan mengirimkanbantuan tahap pertama ke Gazamelalui Ashdod.
Mohammed Kaya, kepala lembaga kemanusiaan Insani Yardim Vakfi (IHH), memiliki perspektif yang berbeda mengenai normalisasi ini. Dia mengatakan, IHH tetap menolak permintaan maaf dan kompensasi Israel atas insiden Mavi Marmara. IHH tetap berdiri pada tuntutan untuk mengangkat blokade di Jalur Gaza secara penuh.
IHH menekankan, proyek ekonomi dan kemanusiaan di Gaza tidak akan berhasil selama blokade masih dilakukan. Begitu juga Turki yang dinilai tidak akan bisa berbuat banyak meringankan problem kemanusiaan selama Gaza masih diblokade. IHH memandang, situasi di Gaza hanya bisa berkembang ketika blokade Israel benar-benar diangkat.
Kaya memperingatkan, kesepakatan Turki untuk menyampaikan bantuan kemanusiaan untuk rakyat Palestina di Gaza melalui pelabuhan Ashdod Israel dan penyeberangan Karam Abu Salem di Gaza selatan adalah bentuk pengakuan resmi atas blokade Gaza.
Normalisasi ini juga semakin rumit dengan sikap Israel yang meminta Turki membatasi peran Hamas. Padahal hubungan Turki dan Hamas sedang dalam puncaknya. Dalam pidato di sidang umum PBB, Netanyahu bahkan menyamakan Hamas dan ISIS. Sebuah tuduhan yanng menunjukkan pendirian Israel yang tidak akan pernah menerima Hamas.
Masa Depan Normalisasi
Normalisasi Turki dengan Israel akan menjadi tantangan nyata bagi politik Turki, baik dalam mendukung perjuangan Palestina maupun dalam pertarungan diplomatiknya terhadap Israel yang memiliki pengalaman panjang dalam mengelola kekuasaan politik atas Palestina. Ini akan berhadapan dengan Erdogan yang memiliki posisi kuat dalam geopolitik di Timur Tengah dengan dukungan sejumlah negara Arab dan masyarakat Palestina.
Pertanyaannya kemudian adalah, sejauh mana Israel bisamemegang teguh persyaratan normalisasi? Seperti kita ketahui, kedua negara memiliki sejarah panjang dan berliku dalam upaya diplomatik, khususnya bagi Israel. Operasi militer Israel di Gaza bisa saja merusak pemulihan hubungan Israel dan Turki.
Itu sebabnya, Karel Valansi, ahli Timur Tengah asal Turki yang menulis untuk media Yahudi-Turki, mengatakan setiap kesepakatanantara kedua negara layaknya orang yang berjalan di atas kulit telur, dengan kesempatan jatuh dan gagal dalam setiap kesempatan. Ini tentunya akan menjadi peringatan bagi Turki.
Dengan semua konsekuensi politik ini, bukan tidak mungkin prediksi Jerusalem Postbisa menjadi benar yang menggambarkan normalisasi Israel-Turki seperti: to stop fighting publicly, while quietly continuing to disagree on virtually everything (menghentikan pertempuran secara terbuka, sementara diam-diam terus tidak setuju pada hampir segala hal).*
Penulis peminat masalah Timur Tengah