Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | KRT Roy Suryo, mantan politikus Partai Demokrat, mantan anggota DPR-RI, mantan Menteri Olah Raga, yang mengunggah video itu. Melihat video singkat yang diunggahnya, hati terenyuh dan dada serasa sesak. Jejak digital memberitakan peristiwa semua itu dengan sempurna.
Video yang diunggahnya, adalah momen setelah Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melantik Jenderal Moeldoko sebagai Panglima TNI, lalu bersama dengan para pejabat lain memberi ucapan selamat kepadanya. Tampak Pak SBY berjalan tegap didampingi istri Ibu Negara (alm) Ani Yudhoyono, menghampiri Jenderal Moeldoko, dan sang jenderal langsung memberi hormat dengan tegapnya.
Momen berjabat tangan itu tampak SBY mengucapkan pesan, sedang tangan kirinya menepuk lengan panglima yang baru dilantiknya itu, setidaknya tiga kali. Istana Negara, 30 Agustus 2013, menjadi saksi peristiwa indah itu, rasanya seperti baru kemarin.
Tidak persis tahu wejangan atau pesan khusus apa yang diberikan SBY kala itu. Apa pun yang disampaikan, pastilah nasihat kebaikan untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Bagus juga jika ada kesempatan, rekan jurnalis bisa menanyakan pada Pak Moeldoko, gerangan nasihat apa yang diberikan Pak SBY saat itu. Pastilah masih diingatnya, atau bisa jadi ia sudah lupa. Watak manusia memang pelupa.
Tapi nasihat yang diberikan pastilah hal-hal menyangkut amanat dalam mengemban tugas. Momen itu indah untuk dikenang, jika tidak dikotori peristiwa 5 Maret di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara.
Jejak digital itu menjadi getir dan menyakitkan untuk dikenang, setelah kasus begal Partai Demokrat (PD) lewat Kongres Luar Biasa (KLB), yang dilakukan Pak Moeldoko. Peristiwa yang akan dikenang sejarah dengan kelam. Kelam tidak saja untuk PD, tapi untuk demokrasi yang diinjak-injak dengan penuh kesadaran.
Apa yang disampaikan SBY dalam pidato yang diunggah lewat video, bersamaan saat KLB tengah berlangsung, bahwa ia menyesal pernah mengangkatnya sebagai Panglima TNI, seraya meminta ampun pada Allah atas kesalahannya itu…
Membuat kita yang mendengar jadi terenyuh. Sakitnya tuh di sini, bukan cuma di dada SBY dan keluarga, tapi pada semua yang konsen pada nilai demokrasi. Kalimat menyesal dan seraya meminta ampun dari seorang SBY, itu bentuk pengakuan, yang cuma bisa dilakukan para ksatria.
Bisa dibayangkan bagaimana sakit hati seorang SBY terhadap mantan anak buah, yang saat ia masih hidup pun diperlakukan dengan sadistis. Partai Demokrat yang dibesarkannya, dan yang dipimpin putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dirampas paksa dengan meniadakan norma kepatutan.
Maka video yang diunggah Roy Suryo itu jika disandingkan dengan video begal di Deli Serdang, itu pastilah bisa jadi kisah tersendiri: kisah air susu dibalas dengan air tuba, atau judul apa pun yang disematkan pastilah buruk.
Brutus Tak Pernah Mati
Markus Yunius Brutus (85 SM), lebih dikenal dengan panggilan populer Brutus. Panggilan dengan konotasi jahat. Dan itu digerakkan, semacan kesepakatan untuk pengucapan pada perilaku tidak terpuji. Maka, kata brutus muncul sebagai stigma.
Brutus lalu menjadi simbol buruk dan pengkhianat. Dalam dunia modern Brutus dikenal sebagai pemimpin dari sebuah konspirasi atas pembunuhan Julius Caesar.
Pada suatu waktu Caesar pernah memaafkan kesalahan Brutus, bahkan lalu mengangkatnya sebagai gubernur, dan kemudian menjadi senator. Caesar amat berharap pada Brutus, yang memang dikenal cerdik.
Tapi saat Brutus, sang inspirator eksekutor, mengundang Caesar dalam pertemuan Senat, ia yang mengawali menikam Caesar, yang lalu diikuti oleh senator lainnya dengan tikaman bertubi-tubi hingga menuju kematian Julius Caesar.
Kisah masa lampau, beribu tahun tapi masih jadi cerita tentang keburukan. Bahkan disimbolkan pada setiap perilaku jahat, terutama para politisi dan pengambil kebijakan pada panggung negara.
Tidak tahu persis, apakah Brutus terinspirasi ungkapan Plautus yang populer, “Homo Homini Lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya.” Ungkapan Plautus yang termuat dalam bukunya, Asinaria (195 SM).
Bahkan filsuf Inggris terkenal, Thomas Hobbes–beraliran empirisme–pun menyitir ungkapan homo homini lupus itu dalam karyanya, yang ditulis dalam bahasa latin, De Cive (1642), yang lalu diterjemahkan dalam bahasa Inggris On the Citizen (1651).
Dalam perjalanan sejarah beribu tahun, bisa ditemukan banyak brutus-brutus lainnya yang hadir karena perangai tidak terpuji, ugal-ugalan, yang tidak bersandar pada moral keadaban.
Brutus tak akan pernah mati, akan terus hadir dan dihadirkan di pentas sejarah, tidak mesti terinspirasi dari brutus yang datang sebelumnya. Tapi bisa jadi paduan dari pribadi jahat dan sistem negara yang memungkinkan untuk mempersembahkan adegan keburukan yang lebih sadistis, amoral dan menyakitkan. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya