Oleh: Abdullah al-Mustofa
SELAMA hampir sebulan warga Indonesia disuguhi polemic seputar maraknya homoseksualitas (LGBT) di negeri ini. Mayoritas warga menolak perilaku LGBT namun ada juga para pembelanya.
Sebenarnya, sikap kita sebagai orang beriman terhadap perilaku dan pelaku homoseksual harus berbeda dengan yang lain, yang tidak memiliki iman. Sikap kita harus merujuk sumber hukum agama utama dan pertama kita, yakni Al-Qur’an.
Al-Qur’an telah mengajarkan kepada kita bahwa kita mesti bersikap tegas terhadap perilaku dan pelaku homoseks. Berikut ini dua sikap tegas yang telah Al-Qur’an ajarkan:
Pertama, memberi label negatif kepada perilaku dan pelaku homoseks
Label Negatif Kepada Perilaku Homoseks:
- Faahisyah
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (*) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
Dan Luth tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun sebelummu?” Sesungguhnya kalian menggauli lelaki untuk melepaskan nafsumu, bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampaui batas. (QS. Al-A’roof [7]: 80-81)
Luth ‘alayhissalam yang diutus Allah SubhanAllahu wa Ta’ala untuk mendakwahi kaum Sodom selain mengajak kaumnya untuk beriman kepada dan menyembah Allah SubhanAllahu wa Ta’ala juga menyuruh mereka berbuat ma’ruf serta melarang mereka berbuat munkar.
Dalam satu episode dakwahnya Luth ‘alayhissalam berdialog dengan kaumnya tentang perbuatan homoseks. Dalam dialog itu – dalam redaksi dan gaya bahasa Al-Qur’an – Luth ‘alayhissalam menyebut kalimat ta’tuna al-faahisyah. Setelah itu, Luth ‘alayhissalam menyebut kalimat ta’tuna ar-arijala syahwatan min duunin nisaai.
Berdasarkan ilmu tafsir, kalimat ta’tuna al-faahisyah (kalian mengerjakan perbuatan keji) dalam ayat pertama di atas ditafsirkan oleh kalimat ta’tuna ar-arijala syahwatan min duunin nisaai (kalian bersetubuh dengan laki-laki untuk melepaskan nafsu syahwat, bukan kepada perempuan) dalam ayat selanjutnya, dengan kata lain yang dimaksud dengan ta’tuna al-faahisyah adalah ta’tuna ar-arijala syahwatan min duunin nisaai.
Kedua kalimat itu mengandung satu kata yang sama, yaitu ta’tuna, tapi keduanya berbeda arti. Yang pertama berarti kalian mengerjakan dan yang kedua berarti kalian berhubungan seks. Terjemah Al-Qur’an Bahasa Indonesia biasanya mengartikan yang kedua dengan kalian mendatangi. Ini kurang tepat.
تأتون (ta’tuuna) berasal dari kata dasar أتى (ataa). Kata ini memiliki banyak arti tergantung konteksnya, di antaranya: جاء (jaa a) (datang), فعل (fa’ala) (mengerjakan) jika setelahnya diikuti dengan perbuatan, dan جامع(jaama’a) (bersetubuh, menggauli, bersenggama, berhubungan badan/seks) jika setelahnya diikuti dengan kata “perempuan” atau “laki-laki”.
Jalalayn dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-faahisyah dalam ayat itu adalah berbuhungan seks dengan laki-laki (sodomi/homoseks). Asy-Syinqity dalam kitab tafsirnya Adhwaul Bayan fii Idhohil Qur’an bil-Qur’an menerangkan hal yang sama. Asy-Syinqity mengatakan bahwa Allah Ta’ala menjelaskan yang dimaksud dengan al-faahisyah dalam ayat itu adalah al-liwath (sodomi, homoseks) sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam ayat berikutnya:
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ
Sesungguhnya kalian menggauli lelaki untuk melepaskan nafsumu, bukan kepada wanita.(QS. Al-A’roof [7]: 81)
Juga firman-Nya:
أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ
Mengapa kalian menggauli jenis lelaki di antara manusia? (QS. Asy-Syu’aroo’ [26]: 165)
أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ
Apakah sesungguhnya kalian patut menggauli laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu? (QS. Al-‘Ankabuut [29]: 29)
Demikian juga halnya dengan kamus Arab modern “Mu’jam Al-Lughoh Al-Arobiyah Al-Mu’ashiroh” mengatakan demikian.
Ayat ke 54 dan 55 dari surat An-Naml serta ayat ke 28 dan 29 dari surat Al-‘Ankabuut juga menyatakan hal yang sama seperti yang dinyatakan kedua ayat di atas (QS. 7:80-81).
Kata al-faahisyah di dalam Al-Qur’an hanya disebutkan 5 kali. Uniknya, 3 di antaranya mempunyai makna yang sama yakni al-liwath. Kata al-faahisyah yang bermakna al-liwath ini disebutkan di 3 ayat yang berbeda (QS. 7:80, 27:54 dan 29:28) yang semua ayat ini berisi dialog Luth ‘alayhissalam dengan kaumnya yang menyinggung perbuatan sodomi. Dua di antaranya adalah pertanyaan dan penyataaan Luth ‘alayhissalam tentang perbuatan homoseks mereka – yang merupakan perbuatan yang belum pernah dilakukan umat manusia sebelumnya -.
Kata الفاحشة (al-faahisyah) adalah bentuk feminin dari الفاحش (al-faahisy). Kamus Al-Mawrid mengartikan kata فاحش (faahisy) sebagai بذئ (badzi’) (cabul) dan باهظ (baahidh) (melampaui batas). Kata فاحشة (faahisyah) sinonim dengan kata فحشاء (fahsyaa’). Masih menurut kamus tersebut kata فحشاء (fahsyaa’) berarti أمر قبيح أوبغيض جدا (kekejian, yang sangat dibenci, amat jahat).
Tafsir Al-Muyassar mengartikan al-faahisyah sebagai perbuatan munkar yang sangat jelek. Ar-Raghib al-Asfahani dalam kitabnya al-Mufradat fi Gharib al-Quran mendefinisikannya sebagai ما عظم قبحه من الأفعال والأقوال (perbuatan dan ucapan yang sangat jelek). Sementara Ar-Razi dalam kamusnya Mukhtar as-Shihah mendefinisikannya sebagai كل شيء جاوز حده (segala sesuatu yang melampaui batas).* (BERSAMBUNG)
Penulis adalah anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jatim