Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | PERTEMUAN Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, dengan Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan RI dan “pemilik” Partai Gerindra, tentu bukan pertemuan silaturahmi biasa.
Pastilah ada hal-hal penting yang dibahas antara keduanya. Ini bukan sekadar ngopi-ngopi ala Pak Moeldoko dengan kader Partai Demokrat, yang lalu jadi heboh itu.
Pertemuan antar keduanya pastilah membahas hal-hal penting. Tidak tahu persis siapa yang berinisiatif pertama kali mengajukan diri ingin bertemu. Tidak ada yang persis tahu.
Inisiatif awal bisa datang dari Pak Anies, tapi bisa juga dari Pak Prabowo. Sekali lagi, ini bukan pertemuan kangen-kangenan biasa antar keduanya. Mustahil ada yang ujug-ujug kangen lalu ingin bertemu.
Spekulasi tentang apa yang dibicarakan antar keduanya bisa macam-macam. Bisa tentang Pilkada, dan sikap Partai Gerindra kenapa jika akan memilih tidak ada revisi UU Nomor 7, tentang Pemilu. Artinya, Pilkada tetap tahun 2024.
Atau bahkan pembicaraan tentang Pilpres, meski membahasnya amat prematur. Spekulasi bisa ke mana-mana, itu tersebab isi pembicaraan pertemuan antara keduanya tidak jadi konsumsi publik.
Kemungkinan-kemungkinan bisa dimunculkan sebagai analisa apa yang dibicarakan dalam pertemuan itu. Setelah itu, coba masuk pada hasil dari pertemuan.
Semakin dirahasiakan isi pertemuan itu, maka pertemuan itu pastilah sarat akan nilai politik bagi kedua belah pihak.
Pak Ahmad Riza Patria, Wagub DKI Jakarta, yang juga Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta, mengatakan tidak ada pembicaraan khusus dalam pertemuan itu. Pertemuan empat mata, silaturahmi biasa saja. Bahkan ia tidak tahu lokasi pertemuan itu.
Tepatnya, bahkan tanggal berapa pertemuan antar keduanya itu dilakukan juga tidak ada yang tahu. Sampai tanggal pertemuan pun dirahasiakan. Pertemuan pada pekan lalu, katanya. Maka kemungkinan bisa akhir Januari atau awal Februari 2021.
Jangankan isi pembicaraan dari pertemuan itu mau dibuka, bahkan tanggal berapa pertemuan itu dilangsungkan tidak ada yang mau buka mulut. Maka sekali lagi, pertemuan itu bisa dipastikan bersifat amat rahasia.
Inisiatif Prabowo
Pertemuan itu tidak tahu persis siapa yang merancang atau menggagasnya. Analisa bisa menunjuk bahwa pertemuan itu inisiatif Pak Prabowo.
Mustahil pertemuan itu atas permintaan Pak Anies. Selaku partai yang mendukung Pak Anies, bersama PKS, menjadi Gubernur DKI Jakarta di 2017, maka Pak Prabowo lah yang pantas memanggilnya. Itu analisa yang masuk akal.
Namun kebenaran dari apa yang dibicarakan, jadi rahasia mereka berdua. Tapi analisa bisa dibuat dengan melihat fenomena politik yang beredar menjelang dan sesudah pertemuan itu berlangsung.
Fenomena politik yang santer adalah pembicaraan tarik menarik antarpartai politik, antara yang menghendaki revisi atau tidak atas UU Nomor 7, tentang Pemilu.
Saat itu Partai Gerindra belum menentukan sikap apakah setuju dengan revisi atas undang-undang itu, atau sebaliknya menolak sebagaimana PDI Perjuangan, PKB, PAN, PPP.
Sedang partai-partai yang menghendaki revisi adalah Partai Golkar, Nasdem, PKS dan Partai Demokrat. (Kemudian yang konsis setuju revisi tinggal PKS dan Partai Demokrat).
Maka Partai Gerindra yang belum menentukan sikap itu perlu berbincang dengan Pak Anies Baswedan, yang jabatannya selaku gubernur berakhir 2022. Dari pembicaraan itu, maka muncul sikap resmi Partai Gerindra atas undang-undang tentang Pemilu.
Anies Diamputasi
Setelah pertemuan itu, tidak lama kemudian muncul pernyataan dari Partai Gerindra yang ikut menolak revisi atas undang-undang Pemilu itu. Artinya, sepakat pemilu serentak tahun 2024.
Maknanya adalah, bahwa Partai Gerindra menghendaki Anies Baswedan “berhenti” di tahun 2022. Menjadikannya dua tahun nganggur, sampai tahun 2024, jika ingin maju lagi. Maka “suara” Anies di ruang publik diharapkan, mereka yang melihatnya sebagai ancaman, itu memudar dan berat untuk bersaing di 2024.
Pak Prabowo yang masih bernafsu menjadi RI-1, meski sudah 2 kali sebagai Capres, sekali sebagai Cawapres dan gagal. Orang lalu menyebutnya sebagai spesialisasi calon. Mentok hanya sebagai calon.
Tapi namanya sudah digadang-gadang akan disandingkan dengan Puan Maharani (PDI-P). Jika 2004 Pak Prabowo sebagai Cawapresnya Ibu Megawati. Maka dua puluh tahun kemudian, 2024, ia gak kapok-kapok mengadu peruntungannya dengan digandengkan dengan putri Megawati.
Menjelang atau setelah pertemuan antara Anies-Prabowo, muncul statemen dari Ali Lubis, ketua DPC Partai Gerindra Jakarta Timur, pernyataan mengada-ada, tendensius dan provokatif.
Pernyataannya itu menyebut, bahwa Anies Baswedan gagal menangani Covid-19. Karena itu ia menyerahkan persoalan penanganan covid itu pada pemerintah pusat. Dalam pernyataan itu ia menghendaki Anies mundur sebagai Gubernur DKI Jakarta. Lebih kurang demikian isi pernyataannya.
Meski setelah itu ada teguran padanya dari para pengurus Gerindra lainnya, terutama Ahmad Riza Patria. Tapi mustahil Ali Lubis yang cuma baut kecil saja berani mengumbar pernyataan itu.
Pastilah pernyataannya itu diskenariokan, dan tersurat bahwa Partai Gerindra ingin “menyatakan” terang-terangan berpisah dengan Anies Baswedan.
Maka pertemuan Anies-Prabowo yang penuh rahasia itu adalah gongnya, dimana Pak Prabowo menyatakan sikap berpisah, sebagaimana juga saat meminang Anies dulu, yang disandingkan dengan Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI Jakarta.
Pak Prabowo tampaknya ingin all out maju lagi di 2024, dan tentu pesaingnya paling menonjol adalah Anies Baswedan. Maka wajar jika lalu pesaing utamanya itu diamputasi, agar tidak menghalangi jalannya.
Bisa jadi Pak Prabowo tidak ingin mengulang saat “memboyong” Jokowi dari Solo ke Jakarta untuk bertarung dengan Fauzi Bowo. Tapi setelah itu, Jokowi “mengkhianati” meninggalkan Prabowo, dan lalu berhadap-hadapan dengannya di dua kali pilpres, dan buat Prabowo keok.
Maka kali ini giliran Pak Prabowo yang meninggalkan Anies Baswedan, dan itu agar tidak jadi batu sandungannya di Pilpres tahun 2024 yang akan datang.
Masa jabatan Anies Baswedan selaku gubernur DKI Jakarta masih satu setengah tahunan lagi, segala kemungkinan bisa saja terjadi. Waktu semua yang akan menentukan.
Politik itu cair, karenanya tidak ada koalisi yang bisa utuh selamanya. Pergeseran-pergeseran koalisi punya kemungkinan terjadi. Dalam politik tidak ada yang tidak mungkin, kecuali ketidakmungkinan itu sendiri.
Anies dan Prabowo apakah akan berhadap-hadapan di 2024, tentu tidak ada yang bisa memastikan. Waktu akan menentukan semuanya.
Anies pernah “diputus” Presiden Jokowi, dicopot dari Mendikbud, lalu takdir membawanya pada jabatan lebih prestisius, gubernur ibu kota negeri.
Apakah nasib Anies “diputus” Partai Gerindra, jika analisa ini benar, akan juga membawanya pada jabatan yang lebih prestisius lagi… Wallahu a’lam.
Jangan terlalu serius, ini hanya sekadar analisa biasa saja. Analisa yang bisa jadi jauh melompat, dan karenanya jatuh pada hasil tidak sebagaimana mestinya. Maaf. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya