Hidayatullah.com—Pemerintah China perlu melakukan banyak perbaikan dari berbagai sudut jika ingin membalikkan penurunan populasinya. Populasi China telah menurun untuk pertama kalinya dalam 60 tahun ketika tingkat kelahiran nasional menyentuh rekor terendah, yaitu 6,77 kelahiran per 1.000 orang.
Jumlah populasi pada 2022 – 1.4118 miliar jiwa – turun menjadi 850.000 jiwa sejak 2021. Tingkat kelahiran di China mengalami penurunan selama bertahun-tahun sehingga mendorong banyak kebijakan untuk memperlambat tren tersebut.
Tapi tujuh tahun setelah menghapus kebijakan satu anak, tingkat kelahiran di China telah memasuki apa yang digambarkan oleh seorang pejabat sebagai “era pertumbuhan populasi negatif”.
Sebelumnya, pemerintah telah meluncurkan langkah-langkah untuk mendorong penduduk agar memiliki lebih banyak anak termasuk keringanan pajak, cuti hamil yang lebih lama, dan subsidi perumahan, namun sejauh ini hanya sedikit tindakan yang diambil.
Hasil dari sensus sekali dalam satu dekade yang diumumkan pada 2021 menunjukkan populasi China tumbuh paling lambat dalam beberapa dekade. Populasinya juga menyusut dan menua di antara negara-negara Asia Timur lainnya seperti Jepang dan Korea Selatan.
“Tren ini akan berlanjut dan mungkin memburuk setelah Covid,” kata Yue Su seorang ekonom di Economist Intelligence Unit dikutip BBC.
Yue Su merupakan salah satu ahli yang memperkirakan populasi China akan menyusut lebih jauh hingga tahun 2023. Biro statistik China merilis laporan sehari sebelumnya yang menunjukkan populasi menurun untuk pertama kalinya sejak 1961.
Namun, dengan lebih dari 1,41 miliar orang, China masih memiliki populasi terbesar di dunia.
Tetapi penurunan sekitar 850.000 pada tahun 2022 mengkhawatirkan para ahli demografi dan analis yang memperkirakan masalah ekonomi di masa depan jika tren berlanjut, meskipun pasokan tenaga kerja secara keseluruhan masih melebihi permintaan.
Mahalnya biaya pendidikan dan prospek ekonomi yang suram membuat banyak orang memilih untuk tidak memiliki anak lebih dari satu meski pemerintah membatalkan kebijakan satu anak pada 2015.
Penduduk yang lahir dalam dua dekade setelah kebijakan tersebut berlaku pada tahun 1980 khususnya tidak memiliki anak karena mereka memiliki tanggung jawab atas orang tua dan kakek nenek mereka tanpa bantuan saudara kandung.
“Orang yang lahir pada tahun 1980-an atau 1990-an tidak begitu tertarik memiliki anak seperti generasi orang tua kita,” ujar Ding Ding, 37, ayah dari seorang gadis berusia tiga tahun kepada Reuters.
“Orang tua kita berpikir jika mereka memiliki anak lebih banyak, mereka bisa mendapatkan lebih banyak perhatian ketika mereka besar nanti. Tetapi generasi muda tidak berpikir demikian karena mereka memiliki mental yang berbeda karena mengasuh anak sudah sangat melelahkan,” ujarnya. Menurut pakar populasi, kebijakan nol-covid ketat China yang diterapkan selama tiga tahun juga menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada prospek demografis negara tersebut. China adalah salah satu negara paling mahal untuk membesarkan anak, kedua setelah Korea Selatan, menurut YuWa Population Research yang berbasis di Beijing.*