Hidayatullah.com— Penjualan rokok batangan dengan harga murah dinilai telah memicu banyaknya anak dan pelajar yang merokok. Beberapa suvei lembaga terkait menunjukkan jumlah perokok usia belia semakin meningkat tajam.
Persentase perokok aktif di Indonesia terus meningkat. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Sebelum ini, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono mengatakan Indonesia berada di peringkat ketiga jumlah perokok aktif terbesar di dunia setelah Tiongkok dan India.
“Fakta tersebut mengharuskan kami untuk melakukan implementasi mulai dari berbagai peraturan kebijakan, evaluasi, edukasi dan promosi kepada masyarakat tentang kampanye tidak merokok,” katanya pada puncak peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2023 Kamis (8/6/2023).
“Fakta tersebut mengharuskan kita untuk melakukan implementasi mulai dari berbagai peraturan kebijakan, evaluasi, edukasi dan promosi kepada masyarakat tentang kampanye tidak merokok,” kata Wamenkes Dante.
Hasil survei Tim Kerja Bidang Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Bogor tahun 2019 menunjukkan, rata-rata siswa mengaku pertama kali merokok pada usia 12 tahun, 32 persen merokok konvensional dan 30,8 persen merokok elektronik. Sebanyak 21,4 persen siswa yang disurvei mengatakan masih merokok.
Dalam webinar bertema ”Diseminasi Hasil Penelitian Distribusi Spasio-Temporal Penyedia Rokok di Kota Medan, Bogor, dan Malang”, Rabu (14/6/2023), Sekretaris Jenderal Forum Warga Kota Jakarta Tubagus Haryo Karbyanto mengatakan, saat ini merupakan situasi tepat untuk mengendalikan jumlah perokok di Indonesia, yakni melalui RUU Kesehatan.
Pada tahun 2019, Dinas Kesehatan Kota Bogor menyurvei 30 sekolah di Bogor dengan hasil yang cukup memprihatinkan. Sebanyak 32 persen anak-anak pernah merokok rokok konvensional, 21,4 persen masih merokok hingga sekarang, 30,8 persen pernah merokok rokok elektronik dan hingga sekarang masih merokok vape sebanyak 18,0 persen.
“69 persen anak-anak melihat orang merokok di mal dan supermarker, 46 persen di perkantoran, 77 persen di restoran, dan 57 persen di sekolah,” tutur Wali Kota Bima Arya Sugiarto dalam webinar Indonesia Tobacco Control Strategic Roundtable 2022, Menerjemahkan Komitmen Pemerintah ke Dalam Aksi, Rabu, 2 Maret 2022.
Pemerintah dinilai perlu memperkuat aturan pengendalian produk tembakau, seperti menambah pembatasan penjualan rokok eceran dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan agar prevalensi perokok di Indonesia, khususnya pada remaja dan anak. RUU Kesehatan bisa menjadi landasan yang kuat untuk menangani persoalan pengendalian tembakau.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
President International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (UNION), Guy Marks menuturkan, saat ini diperkirakan ada lebih dari 235 ribu orang meninggal setiap tahun karena penyakit yang berkaitan dengan rokok di Indonesia. “Kita perlu buat aksi mendesak pemerintah Indonesia untuk memperkuat kebijakan pengendalian tembakau untuk mengurangi prevalensi perokok anak dan menyelamatkan generasi muda Indonesia,” ujarnya.
Marks menuturkan, ada beberapa cara untuk mengurangi jumlah prevalensi perokok anak. Pertama, mencegah anak untuk merokok sejak dini. Untuk yang sudah terlanjur merokok, pemerintah harus mendukung perokok untuk berhenti merokok. *