Hidayatullah.com—Serangan kelompok perlawanan dan pejuang kemerdekaan Palestina ke kantor-kantor militer ‘Israel’ menyebabkan banyak media mengalami polarisasi. Di antara polarisasi adalah ketidakfahaman memetakan masalah yang terjadi di Palestina sehinga banyak menuliskan hal salah, misalnya menyebut “konflik” atau “teroris” kepada pejuang kemerdekaan.
Karena itulah ia memberikan beberapa tips kepada wartawan dan penulis agar tidak salah fatal dalam memahami masalah Palestina, yang nantinya bisa menyesatkan para pembaca.
“Pertama, hindari menulis kata ‘Konflik Palestina-Israel’, karena yang terjadi di tanah Palestina bukan konflik tapi penjajahan structural,” demikian pernyataan Pizaro Gozali, mantan redaktur Timur Tengah pada Kantor Berita Turki Anadolu Agency yang diterima redaksi, Kamis (12/10/2023).
Menurutnya, istilah konflik tidak menggambarkan realitas sesungguhnya di Palestina yang mengalami kolonialisme sistematis oleh zionis. “Istilah konflik tentunya juga tidak menggambarkan agresi dan ketidakadilan Israel terhadap masyarakat adat Palestina, “ ujar pengamat Timur-Tengah yang juga kandidat Ph.D Policy Research and International Studies Universitas Sains Malaysia ini.
Menurut anggota Palestine Media Forum ini, ketidakpahaman memahami masalah sesungguhnya di Palestina, menyebabkan banyak media Indonesia menggukan kata “bentrok” antara warga Palestina dan tentara ‘Israel”, padahal, yang terjadi bukanlah demikian.
“Kedua, hindari memilih kata “bentrokan antara warga Palestina dan tentara Israel”, berita-berita ini mengaburkan akar kekerasan ‘Israel’ yang seolah-olah peristiwa ini hanya insiden sementara dan bukan kekerasan sistematis yang dilakukan penjajah Zionis sejak lama,” ujar pria yang aktif menulis perkembangan Timur Tengah dan Palestina ini.
Yang tidak kalah mengagetkan bagi dia adalah banyaknya media Indonesia memakai kata “teroris” kepada kelompok perlawanan atau kelompok pejuang kemerdekaan Palestina, yang telah meneteskan dari lebih dari 75 tahun agar mereka bisa bebas menjadi negara merdeka.
“Ketiga, hindari menulis kata-kata “teroris Hamas,” “Teroris Palestina”, dan “tentara Israel”. Istilah ini mengesankan Hamas dan kelompok perlawanan Palestina lainnya adalah entitas ilegal, sedangkan Zionis adalah negara resmi dan tentara resmi,” ujarnya.
Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Zionis saat ini menduduki tanah curian yang menjadi hak sah bangsa Palestina.
Keempat, kata dia, sebaiknya langsung menyebut kelompok perlawanan atau langsung saja sebut Hamas. “Menggunakan istilah “militan Hamas” sama saja mengabaikan faktwa bahwa mereka memenangkan pemilu secara demokratis sejak tahun 2006.”
Kelima, sebaiknya wartawan menghindari menulis perlawanan bangsa Palestina tanpa konteks. Jelaskan dalam penulisan akar masalah mengapa bangsa Palestina melakukan perjuangan.
“Karena mereka mengalami penindasan secara panjang, tidak bebas menajalankan agamanya, hidup blokade, boikot ekonomi, kemiskinan, dll akibat penjajajahan,” katanya.
Keenam, pastikan konsistensi dalam menggambarkan korban Palestina sebagai “terbunuh”, bukan “meninggal/tewas”. “Karena itu, hindari penggunaan kalimat pasif saat mendeskripsikan peristiwa. Dalam judul, sebutkan siapa yang melakukan tindakan tersebut, bukan hanya di mana tindakan tersebut terjadi, untuk menghindari ambiguitas dalam penulisan,” kata dia.
Ketujuh, ia juga memberikan tips wartawan agar memberikan konteks penuh terhadap peristiwa-peristiwa tersebut, termasuk peristiwa-peristiwa sebelumnya yang telah menyebabkan kekerasan.
“Hindari menyiratkan bahwa tanggung jawab atas kekerasan hanya ada pada bangsa Palestina. Mereka adalah “korban” bukan “pelaku”. Jangan sampai yang terjadi dalam penulisan adalah sebaliknya,” tutup dia.*