Hidayatullah.com—Aktivis muda Muhammadiyah, Mustofa Nahrawardaya, mengungkapkan, dokter yang mengungkap kebijakan Rumah Sakit (RS) Medistra Jakarta Selatan yang diduga melarang dokter umum dan perawat Muslimah menggunakan hijab ternyata anak dari aktivis Muhammadiyah.
Dikutip Republika Online, dokter spesialis bedah onkologi Dr dr Diani Kartini, SpB Subsp.Onk (K), yang pertama kali mengungkap kasus ini, adalah putri dari Mudrick M Sangidu. Mudrick merupakan tokoh Muhammadiyah di Solo, yang dikenal kritis terhadap penguasa.
“Ya kemungkinan besar diperoleh dari keberanian dan darah pergerakan keluarga besarnya,” kata dia kepada Republika.co.id., Selasa (2/9/2024).
Mustofa meyakini, keberanian dr Diani bersuara lantang diwarisi dari keluarga besarnya.
Perlu diketahui, Mudrick adalah sosok yang ikut menginisiasi berdirinya Mega Bintang, gerakan yang diciptakan pada zaman Orde Baru oleh simpatisan PDI-pro Megawati dan pendukung PPP untuk melawan “kuningisasi” dan memperjuangan demokrasi di Indonesia.
Dari jalur sang ayah ini, dinilai Mustofa menurun darah pergerakan Muhammadiyah yang sangat kental.
Kakek dr Diani, alias ayah dari Mudrick, adalah Kiai Haji Muhammad Sangidu, yang dikenal sebagai Kanjeng Raden Penghulu Haji (KRPH) Muhammad Kamaluddiningrat (1883-1980) adalah Kepala Penghulu ke-13 Kesultanan Yogyakarta yang dilantik pada 1914 untuk menggantikan penghulu sebelumnya, KRPH Muhammad Khalil Kamaluddiningrat.
Dikutip Republika.co.id dari wikipedia, Sangidu merupakan kerabat Ahmad Dahlan dan menjadi pendukung organisasi Muhammadiyah yang didirikan Dahlan.
Dia dikenal sebagai pemegang stamboek (kartu anggota) Muhammadiyah pertama, karena merupakan anggota pertama organisasi Muhammadiyah. Selain itu, dia adalah sosok yang mengusulkan nama “Muhammadiyah” kepada Dahlan.
Mustofa menjelaskan, segenap keluarga besar Muhammadiyah memberikan dukungan penuh kepada dr Diani. Mustofa menuturkan, informasi yang dia terima, mantan Ketua Umum Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin, telah berkomunikasi dengan dr Diani memberikan dukungan moral.
Mustofa mengatakan, pembatasan jilbab oleh siapapun atau instansi manapun adalah bentuk nyata dari Islamofobia. Apalagi diberlakukan di ruang publik.
“Saya rasa bentuk Islamofobia yang tak beralasan karena diberlakukan di ruang pelayanan publik,” tutur dia.
Dia berharap RS Medistra benar-benar memperhatikan kasus ini dan permintaan maaf bukan berarti persoalan dibiarkan menguap begitu saja.
“Minta maaf bukan berarti masalah selesai. Karena diduga banyak praktik serupa kan,” tutur dia.
Sejak terungkapnya kasus ini, Diani Kartini langsung memutuskan keluar dari RS Medistra Jakarta Selatan. “Dan saya juga langsung keluar tidak bekerja di Medistra lagi setelah peristiwa itu, tepatnya kemarin, Sabtu 31 Agustus 2024,” ujar dia kepada Republika.co.id, Ahad (1/9/2024).
Diani mengaku sama sekali tidak ada penyesalan mundur terkait hal-hal yang prinsip, termasuk soal menjalankan keyakinan Islam, yaitu berhijab. “Tidak perlu menyesal, insya-Allah rezeki ada dimana pun,” tegasnya.*