Hidayatullah.com– Konferensi Uskup Prancis (CEF), hari Kamis (12/9/2024), mengumumkan bahwa mereka akan mempublikasikan lebih awal arsip tentang pendeta Abbé Pierre tanpa harus menunggu 75 tahun setelah kematiannya.
Pendeta tersebut, yang meninggal dunia pada tahun 2007, dituduh melakukan kekerasan seksual terhadap banyak wanita.
Menurut tradisi, Gereja seharusnya baru akan membuka catatan tentang Abbé Pierre sampai tahun 2082. Namun, CEF memutuskan untuk membukanya lebih awal kepada para aparat untuk kepentingan penyelidikan, kepada jurnaslis dan peneliti, terutama para pakar independen yang ditugaskan oleh Emmaus – organisasi amal yang didirikan Abbé Pierre – untuk menyelidiki bagaimana dugaan pelecehan yang dilakukan pendirinya tidak dilaporkan selama lebih dari 50 tahun.
Arsip tersebut terdiri dari “berkas yang cukup tipis” dengan “beberapa surat” yang menunjukkan bahwa Kantor Pusat Kardinal pada saat itu “mencatat perilaku” pastor Abbé Pierre, kata kepala CEF Eric de Moulins-Beaufort kepada radio-radio Katolik seperti dilansir RFI Kamis (12/9/2024).
Dokumen-dokumen tersebut menunjukkan bahwa kekhawatiran terhadap perilaku bejat Abbé Pierre sudah muncul sejak tahun 1950-an, ketika “Gereja berusaha membantunya dengan memberlakukan masa perawatan psikiatris di Swiss” dan menugaskan seorang pekerja gereja untuk menemaninya, kata Eric de Moulins-Beaufort dalam siaran radio RCF dan Radio Notre-Dame.
“Tampaknya, Abbé Pierre selalu berhasil memgelak dari masalah ini. Namun, saya tidak akan mengatakan bahwa gereja tidak melakukan apa pun,” kata de Moulins-Beaufort.
Mengenai seberapa banyak hal yang diketahui oleh kalangan di dalam Gereja, dia mengatakan dia “tidak dapat mengatakan” siapa yang mengetahui apa.
“Beberapa uskup pastinya mengetahui sejumlah fakta, tapi fakta yang mana tepatnya?” katanya. “Sebuah penyelidikan historis akan diperlukan untuk mengungkapnya, dan saya sangat mendukung penyelidikan yang baru saja dimulai oleh Emmaus.”
De Moulins-Beaufort menegaskan bahwa Abbé Pierre “tidak hidup dalam kerangka gerejawi”, melainkan bersama dengan Emmaus – yang berarti bahwa organisasi itu yang menyimpan sebagian besar catatan yang masih ada tentang dirinya.
“Hal yang terpenting, melalui inilah kita harus berusaha untuk memahaminya,” kata de Moulins-Beaufort.
Dilahirkan pada tahun 1912, Abbé Pierre sejak lama dipuji-puji sebagai pahlawan di Prancis atas dedikasinya terhadap kaum miskin.
Dia mendirikan komunitas Emmaus pertama untuk membantu para tunawisma di Paris pada tahun 1949. Namanya semakin dikenal masyarakat luas ketika, di musim dingin yang sangat dingin tahun 1954, dia berpidato mengimbau seluruh masyarakat Prancis supaya mengingat kaum papa.
Tahun lalu dia menjadi subyek film biografi penuh sanjungan dalam rangka peringatan 70 tahun pidatonya yang terkenal itu.
Namun pada bulan Juli, Emmaus mengungkap perihal sejumlah tuduhan serangan seksual Abbé Pierre terhadap tujuh wanita kepada media.
Kesaksian-kesaksian lain bermunculan lebih banyak pekan lalu, termasuk tuduhan pemerkosaan dan pencabulan terhadap seorang gadis muda.
Emmaus kemudian menugaskan sebuah komisi independen untuk “menjelaskan disfungsi-disfungsi” yang memungkinkan Abbé Pierre bebas melakukan kejahatan seksual selama lebih 50 tahun. Komisi itu juga diberi tugas untuk mencari cara bagaimana memberikan kompensasi kepada para korban
Sementara itu, lembaga amal Abbé Pierre Foundation dikabarkan akan mengubah namanya, dan sebuah bangunan memorial di Normandy, tempat di mana pendeta itu pernah tinggal selama bertahun-tahun, akan ditutup permanen.
Dewan pengurus Emmaus Prancis juga akan mengambil keputusan lewat pemungutan suara tentang penghapusan nama pendirinya Abbé Pierre dari logonya.*