Hidayatullah.com–Pemerintah Provinsi Aceh akhirnya merilis Qanun yang mengatur pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas.
Qanun ini diharapkan dapat memperkuat perlindungan dan meningkatkan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di seluruh wilayah Aceh, meski ada tantangan yang dihadapi selama perumusannya.
Bayu Satria, Founder YouthID, berbagi pengalaman mengenai proses perumusan Qanun tersebut dalam sebuah dialog dengan RRI Jumat baru-baru ini.
Bayu menekankan pentingnya konsultasi dengan organisasi penyandang disabilitas di Aceh, khususnya di Banda Aceh dan Aceh Besar.
“Kami tidak hanya merumuskan tanpa mendengarkan masukan. Kami melibatkan organisasi penyandang disabilitas untuk memastikan bahwa apa yang dirumuskan benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka,” jelas Bayu.
Meskipun harapan awal adalah Qanun ini dapat selesai pada tahun 2024, Bayu mengungkapkan bahwa prosesnya berjalan lebih lambat dari yang direncanakan.
“Tentu saja ada kendala, karena proses pembuatan kebijakan itu tidak sederhana, apalagi pada masa transisi pemerintahan,” tambah Bayu.
Namun, ia menyebutkan bahwa meski proses tersebut memakan waktu, Qanun ini akhirnya dapat diselesaikan pada Februari 2025, dengan semua tahapan administrasi telah rampung, tinggal menunggu tanda tangan gubernur.
Qanun ini, menurut Bayu, lebih menyoroti hal-hal yang belum tercakup dalam Undang-Undang Penyandang Disabilitas.
“Misalnya, kami fokus pada hak dasar penyandang disabilitas, seperti kesehatan, pendidikan, dan akses ke transportasi. Selain itu, kami juga membahas tentang bantuan sosial dan aksesibilitas di tempat umum seperti sekolah, kampus, dan lembaga pemerintah,” katanya.
Bayu juga menyebutkan pentingnya mengatur pemotongan biaya transportasi umum untuk penyandang disabilitas, serta memastikan adanya aksesibilitas fisik yang memadai, seperti keberadaan lift atau eskalator di fasilitas umum.
Walaupun Qanun ini berlaku di tingkat provinsi, Bayu berharap kabupaten dan kota di Aceh juga akan mengikuti langkah serupa.
“Kami mendorong kabupaten dan kota untuk proaktif dalam menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam Qanun ini. Bahkan, jika perlu, mereka dapat merumuskan Qanun yang lebih spesifik sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing,” tambah Bayu.
Selain itu, Bayu menceritakan pengalamannya secara langsung mengakses layanan publik di Banda Aceh, setelah Qanun ini dirumuskan.
“Kami melakukan peninjauan lapangan, seperti mencoba naik transportasi umum TransKuta Raja dan memeriksa fasilitas di kantor-kantor pemerintahan. Ternyata, masih ada kekurangan, misalnya, halte yang tidak ramah bagi pengguna kursi roda dan keterbatasan akses untuk penyandang disabilitas,” ujarnya.
Meskipun tantangan dalam mengakses layanan publik masih ada, Bayu mengungkapkan harapan besar bahwa Qanun ini dapat membawa perubahan positif, terutama dalam hal aksesibilitas.
“Kami berharap Qanun ini bisa menjadi langkah awal untuk menciptakan Aceh yang lebih inklusif dan ramah bagi semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas,” tutup Bayu.* rri