Hidayatullah.com— Gelombang kekerasan anti-Muslim kembali terjadi di India setelah serangan teror di Pahalgam, Kashmir Selatan. Massa Hindutva menyerang, menjarah, dan membakar toko-toko milik Muslim di kota Ambala, Haryana, India, pada Sabtu (27/4/2025).
Kekerasan diiringi teriakan slogan-slogan provokatif seperti “Jai Shri Ram” (Hidup Dewa Rama) dan “Pakistan Murdabad” (Kematian untuk Pakistan).
Dalam serangkaian insiden brutal di kawasan Saha, Nelson Road, dan Rai Market, para pelaku merusak hingga membakar properti Muslim, memukuli pemilik toko, dan memaksa sejumlah toko untuk tutup.
Polisi yang berada di lokasi dilaporkan hanya diam menonton tanpa mengambil tindakan tegas, meskipun video aksi kekerasan tersebut beredar luas di media sosial.
“Kami diserang tanpa alasan. Mereka menghancurkan papan nama, membalikkan gerobak kami, dan meneriakkan kata-kata kebencian. Polisi ada di sana, tetapi tidak melakukan apa-apa,” kata seorang saksi mata, Mohammad Rizwan (37), pemilik toko Biryani Shama yang menjadi korban, dikutip Indian Express.
Kelompok radikal Hindutva, termasuk anggota dari BJP, RSS, Bajrang Dal, dan VHP, dilaporkan terlibat dalam kekerasan ini.
“Ini bukan hanya bentuk protes; ini adalah serangan terkoordinasi terhadap komunitas tertentu,” ujar Profesor Apoorvanand, seorang akademisi dari Universitas Delhi, dalam wawancaranya dengan The Wire.
Ia menambahkan, “Tindakan ini mendorong marginalisasi sosial dan ekonomi Muslim di Haryana dan negara bagian lain.”
Dalam salah satu video yang viral, terlihat sekelompok massa menghancurkan properti sambil berteriak, “Babi & warga negara Pakistan tidak diizinkan di Chappan Dukan,” merujuk pada insiden pemasangan poster diskriminatif di Indore beberapa hari sebelumnya.
Gunjan Sharma, Presiden 56 Dukan Vyapari Sangh, membenarkan adanya aksi tersebut dengan mengatakan kepada PTI, “Kami ingin menunjukkan bahwa setelah serangan di Pahalgam, tidak ada tempat untuk Pakistan dalam masyarakat kami,” ujarnya.
Meskipun bukti kekerasan sangat jelas, pihak kepolisian Haryana menyatakan bahwa insiden ini hanya merupakan “kerusuhan kecil,” sebuah pernyataan yang menuai kecaman dari kelompok-kelompok hak asasi manusia dan masyarakat sipil.
Para pengamat mengkhawatirkan bahwa ketidakseriusan aparat dalam menanggapi kekerasan berbasis agama ini dapat memperburuk ketegangan komunal di India, terutama menjelang momentum politik besar seperti pemilu.*