Hidayatullah.com— Pakar sejarah Dr. Tiar Anwar Bachtiar Pancasila merupakan kesepakatan (gentlemen’s agreement) yang lahir dari rahim masyarakat yang tertindas oleh kolonialisme pada Abad ke-19. Menurut Tiar, namanya kesepakatan, jadi harus di awat, dijaga dan tidak ada yang boleh merasa paling memiliki, apa lagi dibentur-benturkan dengan kelompok-kelompok lainnya karena alasan politik.
“Di awal abad ke-20 itulah persatuan di antara para Kiai, pesantren dan tokoh-tokoh nasional akhirnya mewujud pada dasar Negara Pancasila,” ungkapnya Jum’at (07/08/2020) malam, dalam pertemuan perdana Kelas Sejarah Islam dan Pancasila yang diselenggarakan komunitas #IndonesiaTanpaJIL (ITJ).
Dalam kajian yang diselenggarakan secara daring via aplikasi zoom Tiar saat menjelaskan konteks Pancasila di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Kegiatan belajar sejarah secara daring ini diikuti secara antusias oleh sekitar seratus orang peserta. Tema kajian yang disampaikan Tiar pada pertemuan perdana ini adalah “Lahirnya Pancasila yang Kita Kenal Sekarang”.
“Di bulan Agustus, peringatan kemerdekaan biasanya diramaikan sebatas dengan kegiatan lomba-lomba saja. Karena itu, ITJ mengajak para pemuda untuk lebih dalam menelusuri sejarah Pancasila agar benar-benar mampu mewujudkan masyarakat yang adil dan beradab,” ujar Gatot Prasetyo, Humas ITJ.
Menurutnya, kajian seputar sejarah Pancasila ini, dalam pandangan ITJ, sangat diperlukan. Hal ini untuk mengakhiri saling klaim di antara beberapa pihak yang merasa paling berhak atas Pancasila.
“Kajian ini juga untuk membantu para pemuda Muslim untuk mendudukkan Pancasila pada tempatnya,” ujar Gatot. “Belajar sejarah adalah cara kita dalam memaknai nilai-nilai penting untuk bekal menghadapi masa depan,” tambahnya lagi.
Ketika ada peserta yang bertanya mengenai makna sila pertama dalam Pancasila, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, dengan lugas Tiar menjawab, “Adanya sila pertama tersebut adalah bukti bahwa tidak ada yang boleh menanamkan ide-ide sekuler secara terbuka di Indonesia. Sebab, negara kita berlandaskan ketuhanan!”
Kelas Sejarah Islam dan Pancasila ini masih menyisakan tiga pertemuan lagi. Dua tokoh pemikir lainnya, yaitu Akmal Sjafril dan Dr. Adian Husaini, juga telah dijadwalkan untuk menyampaikan materi dalam kelas-kelas berikutnya.*/kiriman Gatot Prasetyo