Jum’at, 2 September 2005
Hidayatullah.com–Para
ilmuwan berpendapat, tawa adalah salah satu cara manusia berkomunikasi. Sebelum
manusia belajar bicara, ia sudah menggunakan tawa untuk mengungkapkan
perasaannya.
Kemampuan berbicara dan tertawa dihasilkan bagian otak yang
berbeda. Jika pusat koordinasi bahasa manusia terdapat di bagian cortex atau
bagian depan otak, maka tawa dihasilkan oleh sistem limbik yang merupakan
bagian emosional otak.
Kedua bagian otak ini berhubungan dalam mengkoordinasi rasa
humor seseorang. Menurut Barbara Wild, neurolog Universitas Tübingen, bagian
depan otak dapat mengatur, apakah kita tertawa mendengar hal yang lucu atau
tidak.
Anak-anak lebih mudah tertawa lepas melihat kejadian lucu
daripada orang dewasa, karena bagian depan otak yang mengatur hal ini
berkembang lebih pelan daripada sistem limbik, yang menghasilkan tawa.
Tawa dan humor juga dapat digunakan untuk menentukan kedudukan
seseorang dalam suatu kelompok. Teori ini disebut teori superioritas. Berbagai
penelitian menunjukkan, bahwa para atasan lebih sering membuat lelucon daripada
karyawannya. Dan para karyawan akan tertawa terbahak-bahak, walau mereka tidak
mengerti lelucon atasannya.
Wanita cenderung tertawa lebih banyak, bila ada
laki-laki di dekatnya. Sebaliknya, laki-laki enggan tertawa terbahak-bahak bila
ada kemungkinan tawanya didengar oleh seorang wanita.
Jo-Anne Bachorowski, peneliti Universitas Vanderbilt di Nashville,
Amerika Serikat, mengatakan, tawa ibarat kode sangat kompleks, yang dapat
berfungsi menyampaikan pesan tertentu kepada si pendengar.
Sayangnya, sampai saat ini hanya sedikit ilmuwan yang
meneliti tawa dan rasa humor sebagai sarana komunikasi manusia.
Tawa dan rasa humor juga terbukti meningkatkan daya tahan
tubuh terhadap rasa sakit. Hal ini dibuktikan Willlibald Ruch, seorang psikolog
Universitas Zürich. Willibald Ruch mengundang beberapa peserta eksperimen untuk
menonton pertunjukan lawak atau film komedi tua. Makin lepas para relawan itu
tertawa, semakin bagus, Willibald Ruch menjelaskan:
“Kami bisa menunjukkan, orang yang lebih banyak tertawa saat
menonton film komedi, setengah jam setelah menonton film lebih bisa tahan pada
rasa sakit,“ ujar Willibald Ruch.
Para relawan yang mengikuti
eksperimen Willibald Ruch semuanya sehat. Untuk percobaan itu, mereka tersedia
merasakan sakit melalui tes “Cold Pressure Test“.
Caranya peneliti meminta peserta memasukkan tangannya dalam
air es dan mengukur berapa lama orang itu tahan pada rasa dingin yang menusuk.
Setelah tertawa terbahak-bahak para peserta eksperimen tahan
jauh lebih lama pada rasa sakit.
“Itu yang aneh dalam penelitian ini. Ada beberapa teori, ada yang mengatakan itu
karena perhatian yang teralih, ada yang mengatakan karena orang itu lebih
relaks. Mungkin juga karena peningkatan hormon endorphin tetapi sebenarnya
ketiganya belum dapat dibuktikan melalui studi terpisah, ” ujar Willibald Ruch
pada Deutsche Welle.
Penemuan ini tentunya menarik juga untuk terapi mengatasi
rasa sakit. Sampai saat ini belum ada tes yang melibatkan pasien yang dihimbau
untuk tertawa terbahak-bahak dalam kondisi sakit parah.
Tapi bila hipotesa Willibald Ruch terbukti benar, mungkin
saja humor adalah salah satu jalan untuk mengurangi dosis obat penahan sakit.
“Itu studi yang sudah lama sekali ingin kami lakukan, tapi
saya masih menunggu kerja sama dengan rumah sakit. Mungkin saja tertawa dapat
membantu dalam mengatasi rasa sakit dan dosis obat penahan sakit pasien bisa
dikurangi, ”ujarnya. Karena itu, tersenyumlah agar anda tetap sehat. (dwwd)