Hidayatullah.com–Rakyat Israel saat ini sedang memperhatikan peristiwa yang terjadi di Mesir dengan ketidakpastian seperti yang mereka perdebatkan mengenai imbasnya pada politik regional.
Gelombang protes besar-besaran yang mengguncang Negara-negara tetangga Mesir, membuat harian berbahasa Ibrani edisi Minggu mengumumkan akan adanya
“Timur Tengah Baru”. Walaupun sebagian rakyat Israel belum siap mengumumkan hal tersebut, mereka tetap memperhatikan apa yang terjadi di Mesir, memperhatikan dengan penuh semangat, kekaguman, ketidakpastian dan ketakutan.
Sangatlah dimengerti jika perubahan keamanan di mesir dapat membawa perubahan seismik dalam politik regional dan beberapa pihak khawatir hal ini akan mempersulit perdamaian yang tidak mudah antara Israel dan Mesir, menyangkut perjanjian yang ditanda tangani keduanya di tahun 1979-maka tidaklah mengejutkan jika beberapa rakyat Israel tidak peduli akan hal ini.
Tetapi hasil wawancara menunjukkan sesuatu yang mengejutkan. Beberapa Yahudi Israel yang sudah muak dengan proses perdamaian yang tidak berjalan dan frustasi dengan status quo, mengatakan jika mereka berharap dapat melihat kerusuhan yang sama yang terjadi di Mesir terjadi juga di Negara mereka.
Di antara mereka terdapat wanita Yahudi Israel berusia 33 tahun yang tinggal di Tel Aviv dan bekerja dalam bidang pendidikan. Ketika ditanyakan jika unjuk rasa anti pemerintah- yang dimulai di Tunisia dan menyebar di Mesir, Yordan dan Yaman-terjadi juga di sini, dia menjawab: “Kita jauh dari hal tersebut. Dan saya katakan hal tersebut merupakan kebahagiaan dan kesedihan.”
Dia menjelaskan melihat kejadian yang terjadi Tunisia membuatnya menghargai kestabilan di Israel. Tetapi, ia menambahkan, “Saya rasa ada beberapa hal di sini yang harus dirubah.”
Mengapa?
Dia menyebutkan “kediktatoran tersembunyi” dari Israel- perputaran dan kerja sama politik yang memberikan hak keagamaan yang tidak seimbang serta pemberian izin kepada pemukim Yahudi untuk membangun secara ilegal.
Rita, seorang ibu rumah tangga berusia 38 tahun yang meminta namanya disamarkan, mengomentari mengenai unjuk rasa di Mesir. “Saya harap kami memiliki orang-orang yang dapat turun ke jalanan seperti itu.”
Hanya saja, wanita-wanita tersebut hanyalah bagian dari minoritas.
Tuhan Membela Kami
Berbicara mengenai kerusuhan di Mesir, Ron Chayek seorang website manager berusia 35 tahun mengatakan, “Apa yang saya pedulikan jika mereka sekarat ataupun mati?”
“Satu-satunya masalah bagi kita adalah kedamaian. Tetapi, dengan kata lain, biarkan mereka membunuh diri mereka sendiri.”
Tidak seperti yang lain yang takut jika pemerintah yang baru di Mesir mungkin akan mengadakan perang baru dengan Israel, Chayek tidak peduli.
“Lihatlah langit,” ujarnya sambil menunjuk, “dan saya berbicara dengan keyakinan 100 persen. Dia akan menjaga kita.”
Chayek, yang telihat bangga karena bergabung di Brigade Givati, sebuah unit infantri yang aktif di jalur Gaza selama perang Cast Lead, menambahkan, “Mereka bangsa Arab telah menyerang kita beberapa kali sebelumnya, dan kami selalu bisa membela diri. Tuhan melindungi sepanjang waktu- Tuhan dan pasukan.
“Saya tidak khawatir sama sekali. Jika orang-orang di Mesir ingin membunuh diri mereka sendiri,” katanya sambil mengangkat bahu. “Anda tulis di Al Jazeera jika Ron Chayek mengatakan seorang Arab yang baik adalah Arab yang mati.”
Akhir sebuah era
Meir Nabat, pemilik toko untuk perlengkapan restaurant berusia 53 tahun yang juga seorang penggemar berat Al Jazeera, memberikan simpati yang dalam pada rakyat Mesir.
“Sangat menyedihkan melihat orang-orang sekarat,” ujarnya, ia menambahkan, “saya harap akan ada perubahan untuk keuntungan mereka… saya harap akan ada demokrasi di sana.”
Beberapa rakyat Israel mengkhawatirkan kelompok Islam dapat menggunakan kerusuhan di Mesir sebagai kesempatan untuk memperoleh kontrol Negara
“Saya rasa anak-anak muda dengan Twitter dan Facebook tak akan membiarkan ini terjadi. Mereka bukanlah orang yang payah.”
Nabat meragukan jika Israel akan mengadakan unjuk rasa yang sama seperti yang terjadi di Mesir. Baik rakyat Yahudi Israel dan Palestina sudah sangat nyaman dari segi keuangan, ujarnya. “Tetapi di Jordan, iya, karena hal ini merupakan efek domino.”
Bagaimana dengan West Bank? Mungkinkah rakyat Palestina bangkit lagi melawan otoritas Palestina? Dan kemudian pendudukan Israel?
Eyal Zisser, Dekan Fakultas Sejarah Afrika dan Timur Tengah Universitas Tel Aviv menjawab, “Saya tidak tahu. Ini merupakan pertanyaan bagus dan saya tidak punya jawaban mengenai hal itu.”
Apa yang Zisser pikirkan dan beberapa rakyat Israel ungkapkan, bagaimanapun, merupakan, sinyal protes “akhir dari sebuah era hubungan Israel-Mesir”.
“Hal ini tidak akan sama, tak ada keraguan mengenai hal ini. Cara berpikir yang optimistik akan membuat masalah ini lebih dingin,” ujar Zisser, ia menambahkan jika rezim baru mungkin akan memutuskan hubungan dengan Israel.
“Kita hanya bisa melihat dan menunggu.”
Mubarak: Teman Dunia Barat
Seorang pelajar berusia 28 tahun, yang tidak ingin disebut namanya, ikut peduli akan peristiwa terjadi di Mesir karena menurut media Israel yang ia baca, hal tersebut membahagiakan Iran.
“Saya membaca jika Iran mendukung unjuk rasa di Mesir karena di tahun 1979 terdapat protes yang sama di Iran dan saat itulah pemerintahan Islam datang,” ujarnya. “Dan saya tidak berpikir jika itu yang dinginkan pengunjuk rasa di Mesir.”
“Hal tersebut bukan hal baik untuk kita,” tambahnya. “Mubarak adalah teman bagi dunia Barat.” Ia juga menekankan jika dirinya hanya mempercayai media Israel “untuk hal-hal tertentu”.
Ketika ditanyakan apakah ia khawatir jika unjuk rasa anti pemerintah dan kerusuhan bisa terjadi juga di Israel, ia menjawab, “Hal tersebut mungkin terjadi tetapi saya tidak takut.”
Mengapa?
“Karena mereka tidak akan sampai ke tel Aviv,” ujarnya sambil tertawa
Jika ada satu perasaan yang dapat menyatukan seluruh rakyat Israel- Yahudi dan Palestina- adalah ketidakpastian.
Anat, seorang wanita berusia 44 tahun yang bekerja di toko mainan di Jaffa (atau Yafo), berkomentar jika unjuk rasa di Mesir “benar-benar sangat menakutkan karena akankah kedamaian datang di Mesir? Itu yang saya pikirkan sepanjang waktu”.
Seorang ibu rumah tangga beragama Islam berusia paruh baya bergabung dalam percakapan dan menambahkan, “Saya rasa tidak akan ada kekacauan di sini. Itu yang saya harapkan.”
Semua Orang
Seorang pria Muslim pemilik toko kecil di Jaffa dan memilih untuk tidak disebutkan namanya, menjelaskan jika ia berbicara tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi untuk “semua orang yang berpikiran sama dengan saya” dan sangat tertarik mengenai unjuk rasa ini.
“Dalam hal ini bukan hanya satu partai politik yang melakukannya,” ujarnya. “Yang melakukan adalah semua orang. Semua orang.”
Bagaimana dengan di sini? Akan kah orang-orang ikut bangkit?
“Saya rasa tidak. Walaupun dengan seluruh kekacauan di sini, kami memiliki demokrasi. Kemarin ada unjuk rasa di Yafo (Jaffa),” ujarnya, memprotes aksi rasisme di Israel dan meningkatnya persentase dari pemukiman Yahudi di sana.
“Di sini, Anda dapat menunjukkan apa yang Anda rasakan,” ujar istrinya menambahkan. “Tetapi di sana (di Mesir) hal itu dilarang.”
Terdapat perundang-undangan di Israel yang membuat cara melalui Knesset, di mana oleh para peneliti di sebut anti demokrasi. Dan ketidakyakinan yang muncul bersamaan dengan kerusuhan regional dapat membuat peristiwa yang lebih dari anti pemerintah untuk mengambil alih Israel, yang kemudian mengancam demokrasi di Negara tersebut dan mungkin memunculkan rezim seperti Mubarak. Baik keamanan dan media lokal, terlihat berbuat banyak dalam mengobarkan rasa takut,
Lalu apa makna perubahan di Mesir bagi Israel?
Sang suami menjawab, “Sekarang, hal terpenting adalah demokrasi (bagi rakyat Mesir).” *
Foto; Getty image