Hidayatullah.com–Kepribadian yang menarik dari pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan adalah ketaatan agamanya dan semangat juang yang tinggi dalam menegakan dakwah Islam di Indonesia, tepatnya di Kauman Yogyakarta. Dalam usia 21 tahun, Kiyai Dahlan sudah mulai membangun karir dakwahnya. Itulah salah satu motif pembuatan film “Sang Pencerah”.
Demikian salah prolog yang disampaikan oleh sutrada film “Sang Pencerah”, Hanung Bramantyo dalam sebuah acara “Nonton Bareng dan bedah film “Sang Pencerah” yang digagas oleh Persatuan Pelajar Indonesia Malaysia, di Aula Hasanuddin, Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Sabtu, (23/4).
Selain Hanung, acara bedah film ini juga menghadirkan Zulfan Haidar Zamzuri Umar, Ketua I Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah, Malaysia, dan Dr. Syamsuddin Arif, dosen Filsafat IIUM, Kuala Lumpur.
Dalam kesempatan ini, mewakili Cabang Istimewa Muhammadiyah di Malaysia, Zulfan Haidar menyampaikan beberapa poin nasehat dan saran konstruktif kepada Hanung.
Pertama, Zulfan menasehatkan agar Hanung tetap bertawadhu (rendah hati) dan tidak menjadi seorang yang arogan ketika karya-karya filmnya mendapat pujian dan sanjungan masyarakat, sebagaimana terjadi saat ini.
Kedua, ia juga meminta Hanung mengedepankan optimisme, keterbukaan dan lapang dada ketika memperoleh kritikan. Ketiga, Hanung adalah aset Muhammadiyah, oleh sebab itu idiologi Islam yang selama ini diyakini oleh Muhammadiyah supaya tetap menjadi rujukan dan pegangan.
Menanggapi nasehat dan saran-saran Zulfan Haidar ini Hanung mengaku senang. Apalagi menurutnya, nasihat tersebut disampaikan dari seorang tokoh Muhammadiyah yang kebetulan juga tetangganya di kampung halamannya, Kauman, Yogyakarya.
Sementara itu, beberapa adegan dialog cerita dalam film “Sang Pencerah” seperti, “Agama itu proses” dan “Agama itu seperti musik” sebagaimana terdapat dalam sebuah adegan dialog antara kiyai Dahlan dan murid-muridnya dalam film tersebut mendapat sorotan tajam dari Dr. Syamsuddin Arif.
Menurut Syamsuddin, hematnya, agama itu berkaitan dengan keyakinan atau aqidah yang sudah barang tentu memiliki definisi tertentu dan jelas. Penyerupaan (tasyabbuh) seperti itu dikhawatirkan akan merusak pengertian agama yang sebenarnya.
Penilaian Syamsuddin Arif ditanggapi oleh Hanung dengan kapasitasnya sebagai pembuat film. Menurutnya, Kiai Ahmad Dahlan itu seorang yang cerdas. Ketika berbicara, beliau mampu memposisikan dan menyesuaikan dirinya kawan bicaranya, sesuai dengan usia dan kapasitas intelektualismenya masing-masing. Bahasa dengan anak-anak tentu berbeda dengan bahasa orang dewasa, tegasnya.
Sebaliknya, agama bisa menjadi sulit dan beban, bahkan menjadi bahan cemooh dan tawaan orang lain apabila tanpa dibarengi dengan ilmu pengetahuan dan pemahaman. Demikian bela Hanung dengan uangkapan, “agama itu seperti musik”.*/Imron Baehaqi, Kuala Lumpur