Hidayatullah.com–Persidangan kasus Zainal Abidin Bin Ali dan istrinya, Leila Trabelsi, di Tunisia berlangsung supercepat. Hanya sehari setelah sidang in absentia (tanpa kehadiran terdakwa) itu dimulai pada Senin lalu (20/6), vonis hakim sudah dijatuhkan kemarin (21/6).
Bin Ali yang terguling dalam Revolusi Melati pada Januari lalu itu dijatuhi hukuman 35 tahun penjara. Sang istri juga diganjar hukuman yang sama. Pasangan mantan presiden dan ibu negara Tunisia tersebut dinyatakan terbukti menyalahgunakan uang rakyat selama berkuasa.
Kendati hukuman yang dijatuhkan kepada Bin Ali dan istri tidak ringan, putusan hakim tersebut menuai reaksi negatif dari masyarakat Tunisia. Warga yang merasa tidak puas justru menganggap sidang selama enam jam tanpa dihadiri Bin Ali itu sebagai sandiwara.
“Vonis itu benar-benar sangat mengecewakan. Tak jauh berbeda dengan sandiwara keadilan yang kami alami di bawah pemerintahan sang diktator (Bin Ali ),” ujar Mouhieddine Cherbib, aktivis dari kelompok pembela HAM Tunisia yang bermarkas di Prancis.
Dia menuntut diselenggarakannya sidang ulang. “Kami menginginkan sidang yang sebenarnya. (Sidang) yang adil dengan melibatkan para korban maupun saksi kelaliman terdakwa,” lanjut Cherbib.
Dalam sidang pertama pada Senin lalu, hakim Touhami Hafi memang tidak menghadirkan saksi-saksi. Pembelaan Bin Ali terkait dakwaan korupsi tak disampaikan secara langsung pula. Dia hanya memberikan pernyataan tertulis yang dia kirim dari Arab Saudi.
Tetapi, Hafi menegaskan bahwa vonis yang dijatuhkan kemarin cukup adil. Putusannya itu juga tidak jauh berbeda dengan prediksi pakar hukum. Menjelang sidang, sejumlah pakar di dalam dan luar negeri telah meramalkan bahwa Bin Ali dan istri akan diganjar hukuman penjara lebih dari 20 tahun.
“Bin Ali dan istri terbukti menggelapkan uang rakyat. Barang bukti berupa sejumlah uang dan perhiasan disembunyikan di kediaman mereka,” ujar Hafi dalam pernyataan tertulis.
Kabarnya, penegak hukum Tunisia menemukan harta Bin Ali dan istri di kediaman mereka yang berada di pinggiran ibu kota, Tunis. Nilainya ditaksir USD 27 juta (sekitar Rp 232,1 miliar).
Selain harus menjalani hukuman penjara 35 tahun, Bin Ali dan istri diwajibkan membayar sejumlah denda. Menurut Hafi, Bin Ali harus membayar denda 50 juta dinar (sekitar Rp 309,5 miliar). Sedangkan Leila diwajibkan membayar denda 41 juta dinar (sekitar Rp 257,9 miliar).
Di pengujung sidang pada Senin lalu, Hafi mengatakan bahwa vonis tersebut segera diberlakukan meski Bin Ali dan istri saat ini berada di Saudi. Idealnya, hukuman langsung diberlakukan begitu terdakwa menginjakkan kaki mereka kembali di Tunisia. Hingga kini, pemerintah Saudi belum mengabulkan permohonan ekstradisi yang diajukan pemerintahan transisi Tunisia. Padahal, pasangan yang meninggalkan Kota Tunis sejak 14 Januari lalu itu sudah lima bulan tinggal di Saudi.
Selain korupsi, Bin Ali didakwa melakukan serangkaian pelanggaran yang lain. Antara lain, penyelundupan narkoba dan perdagangan senjata secara ilegal.
Beberapa waktu lalu petugas keamanan menemukan ganja dan sejumlah senjata di kediaman resmi kepresidenan di Carthage. Rencananya, Bin Ali menjalani sidang kedua pada 30 Juni. Sidang tersebut akan fokus kepada keterlibatan sang mantan diktator itu dalam jaringan perdagangan narkoba nasional dan internasional serta pasar gelap senjata.
Sementara itu, kubu Bin Ali tidak puas dengan vonis yang dijatuhkan hakim. Para pengacara Bin Ali mengecam keputusan hakim tersebut. “(Vonis hakim) ini lelucon. Anda tak perlu melakukan apa-apa kepada lelucon. Anda hanya bisa tertawa,” tutur Akram Azoury, salah seorang pengacara Bin Ali , dari Kota Beirut, Lebanon. Dia yakin, pemerintahan transisi sengaja merekayasa sidang untuk mengalihkan perhatian dunia dari kegagalan mereka membangun kembali Tunisia.
Kendati demikian, masyarakat internasional menyambut positif sidang Bin Ali . Pasalnya, setelah bertahun-tahun Bin Ali memimpin dengan tangan besi, hukum akhirnya mengadili dia. Selain korupsi serta perdagangan narkoba dan senjata ilegal, pria 74 tahun tersebut dinilai bertanggung jawab atas serangkaian pembunuhan dan pembantaian terhadap warga sipil. Terutama kelompok oposisi yang berseberangan pendapat dengan dia.
Beatrice Hibou, periset senior pada lembaga studi internasional CERI di Sciences Po Paris, menekankan soal pentingnya pengadilan bagi Bin Ali . Pengadilan tersebut justru mengajarkan kepada dunia bahwa tak ada pelanggaran atau tindak kejahatan yang luput dari hukum.
“Dari total 93 dakwaan yang dikenakan kepada Bin Ali dan para kroninya, 35 dakwaan akan disidangkan oleh mahkamah militer,” kata seorang juru bicara Kementerian Kehakiman Tunisia.*