Hidayatullah.com–Bertempat di International Islamic University Malaysia (IIUM) event “Aceh Development International Conference (ADIC) 2012” resmi dibuka oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Ir. Azwar Abubakar, MM.
Acara diselenggarakan Senin, 26 Maret 2012 lalu bertepatan dengan 26 Maret 1873, gune memperingati ultimatum yang dikeluarkan oleh Belanda terhadap Sultan Aceh untuk menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda.
Ultimatum tersebut menjadi pemicu berkobarnya peperangan besar di Aceh. Karena itu, tanggal 26 Maret sengaja dipilih sebagai hari penyelenggaran ADIC setiap tahun sebagai salah satu upaya mengenang hari tersebut.
Prof. Dr. Zaleha Kamaruddin (Rektor IIUM), Mulya Wirana, SH (Kuasa Usaha Ad Interim Republik Indonesia untuk Kerajaan Malaysia) dan Dr. Syafii Syam (Presiden IAAS).
Prof. Dr. Zaleha Kamaruddin dalam sambutannya mengungkapkan adalah sebuah keistimewaan bagi IIUM dipilih sebagai tuan rumah ADIC ke-3. Beliau yakin IIUM dapat berkontribusi pada pembangunan sumber daya manusia di Aceh.
Menurutnya, jumlah mahasiswa IIUM asal Aceh terus meningkat sejak tahun pertama IIUM berdiri. Framework IIUM yang tidak hanya membekali para mahasiswanya dengan pengetahuan teknis saja tapi juga mendidik dengan nilai-nilai dan spiritualitas selaras dengan framework Aceh yang komitmen pada Islam sebagai way of life yang komprehensif sejak kedatangan Islam di wilayah Nusantara.
Dimoderatori Dr. Shabri A. Majid, M.EC (alumus IIUM, dosen UNSYIAH Banda Aceh), menteri yang asli putra Aceh yang bertindak sebagai keynote speaker ini, sesuai dengan kapasitasnya beliau menyampaikan 9 Program percepatan Reformasi Birokrasi yang disarikan dari Grand Disain Reformasi Birokrasi untuk menciptakan BIROKRASI BERSIH, KOMPETEN DAN MELAYANI.
Keynote speaker lainnya tercatat ada Prof. Dr. Amirul Hadi, MA (Wakil Rektor Urusan Akademik IAIN Ar-Raniry Banda Aceh), Prof. Dr. Sidek Baba (Institute of Education, IIUM), Prof. Drs. Yusni Saby, MA, Ph.D, Prof Madya Dr Noriah Taslim (Fakultas Sastera & Sains Sosial Universiti Brunei Darussalam) dan Assoc. Prof. Dr. Saim Kayadibi (Faculty of Economics and Management Sciences, Department of Economics, IIUM). Kedua panel tersebut dimoderatori oleh dua alumnus IIUM lainnya, Dr. Muhammad Abubakar (Universitas Malikus Saleh-Lhokseumawe) dan M Adli Abdullah, M.CL (University Sains Malaysia).
Prof. Dr. Amirul Hadi, MA yang menyampaikan makalah bertajuk “Aceh in History Preserving Traditions and Embracing Modernity” dalam awal makalahnya melemparkan pertanyaan bagaimana rakyat Aceh berusaha merangkul modernitas dan pada saat yang sama berusaha mempertahankan tradisi mereka. Selanjutnya dia mengungkapkan bahwa Islam dan Aceh adalah hand in hand (bergandengan tangan), Islam adalah dasar kehidupan sosial dan politik rakyat Aceh, Islam adalah elemen pengikat rakyat Aceh, rakyat Aceh bangga dengan masa lalu dan tradisinya tapi tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu, bernostalgia dengan masa lalu dengan kenangan manisnya tapi tidak mempunyai kesadaran sejarah.
Prof. Dr. Sidek Baba yang menyampaikan makalah berjudul “Developing A Comprehensive Framework for Aceh Educational System” menyatakan bahwa metodologi pengajaran dan pembelajaran harus lebih Islami dan harus adanya integrasi Islamisasi pengetahuan dan pendidikan. Integrasi ilmu pengetahuan dilakukan dengan penanaman etika dan nilai dalam tubuh ilmu pengetahuan, Islamisasi pendidikan dilakukan dengan cara menanamkan Islamic worldview dalam tubuh ilmu pengetahuan dan dalam proses pendidikan dengan menekankan pada adab dan taadib pada akal, jiwa dan tingkah laku.
Assoc. Prof. Dr. Saim Kayadibi, dosen IIUM asal Turki yang pernah mengunjungi Aceh menyampaikan makalah berjudul “A Comprehensive frame work for Aceh Development under the role of Siyasah Shariyyah: A Visionary Aceh Development” menyarankan agar pemerintah Aceh lebih intensif lagi menggandeng kerja sama dengan negara-negara anggota Organisation Islamic Coorperation (OIC) dan Islamic Development Bank (IDB) dalam membangun Aceh.
Di hari kedua, para pemakalah menyampaikan makalahnya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peserta di enam ruangan terpisah berlangsung dari pagi hingga sore hari. Makalah-makalah yang masuk mencakup bidang Budaya dan Pendidikan, HAM dan Politik, Ekonomi, Pemikiran Islam, Teknik, Sejarah, Seni dan Bahasa, Tata Ruang, Lingkungan, Informasi Komunikasi dan Teknologi, Pangan dan Pertanian, Perempuan, Anak dan Keluarga, Kesehatan, Mitigasi Bencana, Manajemen, dan Perikanan.
Menurut panitia, ADIC diselenggarakan untuk memfasilitasi pihak-pihak yang terkait untuk melakukan penelitian program pembangunan Aceh pasca tsunami dan memberikan kesempatan untuk mengumpulkan dan berbagi ilmu dan pengalaman di antara para ilmuwan, teknokrat, akademisi, profesional dalam bidang-bidang terkait, serta pembuat kebijakan yang tertarik pada isu-isu terkait dengan tema konferensi.
ADIC pertama kali diselenggarakan di kampus UPM (Universiti Putra Malaysia) tahun 2010, dan yang kedua di kampus UKM (Universiti Kebangsaan Malaysia) tahun 2011.
ADIC 2012 dihadiri 125 orang pemakalah dan 106 orang peserta. Mayoritas dari mereka adalah orang Aceh baik yang tinggal di Aceh, di provinsi-provinsi lain di Indonesia maupun yang tinggal di Malaysia dan negara lain seperti India, Singapura dan Australia.
Di antara pemakalah dan peserta juga terdapat warga negara Indonesia dari provinsi selain Aceh baik yang tinggal di Indonesia, Malaysia maupun negara lain. Di antara mereka juga terlihat warga negara asing seperti Malaysia, Iran, Yaman dan negara lain.
ADIC 2012 diselenggarakan oleh International Association of Acehnese Scholars (IAAS), The Aceh Club Kuala Lumpur dan Tanah Rencong Student Association (TARSA)-IIUM dan didukung oleh Pemerintah Provinsi Aceh, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur dan International Islamic University Malaysia.
Rekomendasi
Sebelum ditutup, panitia ADIC 2012 menyampaikan rekomendasi. Ada beberapa poin rekomendasi;
Pertama, al-Qur’an harus menjadi pilar, sumber dan spirit dalam membangun Aceh;
Kedua, Pembangunan yang berdasarkan maqoshid syari’ah harus diimplementasikan di Aceh untuk memanfaatkan sumber daya alam Aceh secara efisien serta mengembangkannya secara ekonomi, sosial dan politik;
Ketiga, sistem keuangan Islam dan perbankan Islam harus diimplementasikan di Aceh untuk meningkatkan perkembangan ekonomi dan memberantas kemiskinan. Ini harus diikuti oleh usaha-usaha untuk mendorong dan menciptakan sifat kedermawanan terutama zakat dan wakaf.
Sebagai pamungkas, ceramah penutup disampaikan Tan Sri Datuk Seri Sanusi bin Junid (Presiden Aceh Club Kuala Lumpur). Warga Negara Malaysia keturunan Aceh ini yang telah menyandang banyak jabatan di Malaysia seperti Menteri Pembangunan Negara dan Luar Bandar, Menteri Besar Kedah Darul Aman dan Presiden IIUM ini menyatakan bahwa Aceh bisa mencapai kegemilangan di masa kejayaan karena penguasa dan rakyat Aceh mengambil dan mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan.
Semoga dengan diselenggarakannya ADIC di Kuala Lumpur ini akan memotivasi daerah-daerah lainya menyelenggarakan event serupa baik di Indonesia atau negara lainnya untuk menggali gagasan dan pemikiran baru dan segar dari berbagai kalangan agar mampu mengantar Indonesia menuju “baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur”.*/Abdullah al-Mustofa, Kuala Lumpur, Malaysia
Foto: acara ADIC-2011