Hidayatullah.com–Begitulah pesan yang disampaikan orang jika Anda tidak ingin berurusan dengan polisi, tentara bahkan intel setempat, ketika berada di Teheran, Iran.
Bangunan khas gaya Iran memang memancing banyak warga negara asing untuk bisa mengabadikan keindahan kota tersebut, apalagi Teheran adalah kota yang hampir bukan tujuan wisata, yang berbeda dengan ke Eropa, Amerika Serikat misalnya.
“Kapan lagi bisa ke Teheran kalau tidak ada agenda internasional seperti KTT Non-Blok. Kalau ke Amerika, ke Eropa, ke Australia bisa sewaktu-waktu ke sana asalkan ada duit,” kata Azhar Hutomo seorang wartawan radio swasta yang ikut serta dalam rombongan Wakil Presiden Boediono untuk menghadiri KTT Non-Blok.
Tapi berkunjung ke Teheran, Iran, adalah suatu kunjungan langka sehingga siapa pun yang berada ke situ pasti akan memanfaatkan waktu luang untuk foto dan membeli cinderamata ciri khas setempat.
Tapi ternyata tidak boleh sembarang jalan-jalan atau mengambil foto di Teheran, khususnya untuk wartawan yang datang ke kota itu.
Salah seorang staf KBRI Teheran, Yanthi, mengatakan pemerintah setempat memang memberlakukan peraturan ketat terhadap warga asing yang datang. Bahkan kemana-mana sejumlah intel pasti mengawasi pergerakan warga asing.
“Jangan pernah jalan-jalan di kota Teheran dengan membawa kamera besar dan video perekam. Pasti akan disita baik oleh polisi, tentara dan intel yang selalu berkeliaran. Apalagi jika yang membawa seorang jurnalis,” kata Yanthi, yang sudah menetap lebih 10 tahun di Teheran dan fasih bahasa setempat, Persia.
Saat kedatangan 10 jurnalis Indonesia yang ikut dalam rombongan Wakil Presiden Boediono, Yanti mewanti-wanti agar jangan sekali-kali mengambil foto dan atau gambar di jalan kota Teheran.
Kalau mau ambil foto dan atau gambar, katanya, harus ada yang mendampingi orang setempat dan harus minta izin.
“Pendampingnya tentu seorang tentara atau intel yang menyamar sebagai warga sipil. Tapi mereka akan selalu mengawasi pergerakan kita,” kata Yanthi.
Nasib sial dialami oleh seorang jurnalis sebuah televisi asal Indonesia, Thom Endiarto, yang pada akhir kunjungan ke Teheran berfoto di depan hotel tempat wartawan menginap.
Entah karena nekat atau karena lupa, Thom dengan asyiknya mengabadikan foto dirinya di depan hotel dengan hanya tiga kali bidikan.
Tak ayal polisi dan intel yang berada di lobi hotel dan yang ada di luar hotel langsung mengerumuni Thom dan minta kamera yang digunakan.
Persoalan tak selesai di situ, ternyata sejumlah polisi melaporkan aksi wartawan Indonesia tersebut dan sekitar dua hingga tiga menit, datang sekitar lima orang tentara menggunakan mobil patroli mendatangi Thom.
Sejumlah perwira polisi pun melakukan proses verbal dengan bahasa setempat yang tentu tidak dipahami oleh Thom dan sejumlah jurnalis Indonesia yang mencoba membantu.
Untung ada Yanthi yang fasih bahasa setempat dan menjelaskan bahwa jurnalis tersebut hanya mengambil foto tidak ada maksud ingin mematai-matai Pemerintah Iran.
Debat kusir pun terjadi dan perwira polisi dan tentara dengan agak memaksa meminta kamera yang digunakan Thom untuk melihat objek apa yang diabadikan di kamera tersebut.
Polisi, tentara dan intel berpakaian sipil pun mengambil kamera dan melihat foto-foto yang diabadikan si jurnalis tersebut.
“Okey…mereka tidak mempermasalahkan foto yang diabadikan dan mereka juga tidak menghapus,” kata Yanthi menirukan ucapan intel yang berperwakan tinggi besar dan brewokan tersebut.
Tanpa minta maaf dan tanpa senyum, sejumlah intel pun meninggalkan jurnalis yang ketakutan tersebut tapi mereka rupanya tidak meninggalkan sepuluh jurnalis Indonesia itu: mereka tetap mengawasi dengan ketat.
“Gila…bener deh. Hampir saja saya diciduk hanya gara-gara mengabadikan foto di depan hotel,” kata Thom yang sudah tampak pucat.
Sejak Mendarat
Pengawasan terhadap jurnalis Indonesia sebenarnya sudah dialami begitu mendarat di Bandara Mehrabad, Teheran, sampai dengan jurnalis mengangkasa kembali menuju Indonesia.
Setiap jurnalis Indonesia melakukan pergerakan atau peliputan, pasti ada dua atau tiga orang semacam pendamping (LO) yang, katanya, membantu jurnalis jika ingin melakukan peliputan.
“Mereka itu sebenarnya intel yang sengaja ditempatkan pemerintah setempat untuk mengawasi pergerakan kita,” kata Yanthi.
Ketatnya sistem pengamanan terhadap jurnalis terlihat saat sekitar tujuh sampai sembilan orang Iran selalu “nongkrong” di lobi hotel tempat jurnalis Indonesia menginap.
“Bapak-bapak jurnalis sebaiknya jangan pernah keluar hotel ya kalau tidak ada pendamping. Bisa jadi masalah nanti kalau berkeliaran walau tujuannya ingin beli oleh-oleh,” kata Yanthi.
Hampir Diciduk
Nasib apes juga dialami oleh dua orang staf Sekretariat Wapres, Edy Kasrody dan Indra Jaya Kusumah, yang masing-masing bertugas sebagai petugas kamera dan petugas foto Wapres Boediono.
Dua orang tersebut tugasnya jelas yaitu mengabadikan seluruh kegiatan Wapres Boediono selama di Teheran, baik saat menghadiri KTT Non-Blok maupun bertemu dengan sejumlah kepala negara dan kepala pemerintahan di sela konferensi tersebut.
Entah bagaimana, kedua orang yang selalu menenteng kamera dan video perekam saat bertugas terpaksa harus turun di jalan karena lemahnya koordinasi antara supir yang warga Iran dan petugas protokol KTT.
Saat ditengah jalan itulah, mereka tidak tahu jalan dan tidak tahu siapa yang harus dihubungi sehingga seperti orang kesasar dengan membawa kamera dan berpakaian PSL (jas resmi).
Tentu saja keberadaan dua orang itu dengan menenteng kamera foto dan video perekam, membuat polisi dan tentara yang bertugas di jalan menanyakan maksud keberadaannya.
“Apes sekali paspor tidak dibawa karena harus ditinggal di hotel dan kartu identitas peliputan KTT belum jadi sehingga saya nyaris diciduk dan diborgol oleh polisi,” kata Edy.
Rupanya keberuntungan masih dialami dua staf Setwapres tersebut, setelah hampir satu jam berkeliaran di jalan dan tentunya mendapat pengawasan dari polisi, bantuan dari staf KBRI Teheran datang dan menjelaskan bahwa dua orang itu adalah bagian dari delegasi Indonesia.
“Saya hampir saja dibawa ke kantor polisi seandainya staf KBRI tidak datang. Mau komunikasi sulit sementara saya juga tidak membawa identitas apapun,” katanya dengan muka dan badan penuh keringat.
Yanthi mengatakan sebenarnya pengawasan ketat tidak saja dialami oleh jurnalis Indonesia tapi juga kepada jurnalis dari negara lain.
“Bahkan setiap turis yang datang ke Teheran juga selalu dalam monitor pengawasan pihak berwenang sekalipun tidak seketat mengawasi jurnalis,” kata Yanthi.
Dia sekali lagi mengingatkan sebaiknya jangan sembarangan mengabadikan foto di Teheran dan kalaupun ingin mengabadikan minta izin terlebih dahulu kepada polisi atau tentara yang sedang bertugas di jalanan.
Yanthi mengatakan sebenarnya pengawasan ketat tidak saja dialami oleh jurnalis Indonesia tapi juga jurnalis dari negara lain.
“Bahkan setiap turis yang datang ke Teheran juga selalu dalam pengawasan pihak berwenang sekalipun tidak seketat mengawasi jurnalis,” katanya.
Dia sekali lagi mengingatkan agar wartawan tidak sembarangan mengambil gambar di Teheran dan kalaupun ingin mengabadikan minta izin terlebih dahulu kepada polisi atau tentara yang sedang bertugas di jalanan.*