Hidayatullah.com–Myanmar telah mengobarkan “kampanye pembersihan etnis” terhadap Muslim Rohingya. Demikian dikatakan lembaga pemerhati hak asasi, Senin (22/04/2013), mengutip bukti kuburan massal dan tindakan pengusiran paksa terhadap puluhan ribu orang.
Penduduk Rohingya, yang kewarganegaraannya tidak diakui oleh negara yang juga dikenal dengan Burma, malah sedang menghadapi kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan, penganiayaan, deportasi, dan pemindahan paksa, kata lembaga Hak Asasi Manusia (Human Rights Watch, HRW) yang berbasis di New York itu.
Pejabat Myanmar, tokoh masyarakat, dan biksu Buddha, mengorganisasi dan mendorong massa, dengan didukung pasukan keamanan negara, untuk melakukan serangan terkoordinasi di desa-desa Muslim di wilayah bagian barat Rakhine pada bulan Oktober, kata HRW.
“Pemerintah Burma terlibat dalam kampanye pembersihan etnis terhadap Rohingya yang terus berlanjut sampai hari ini melalui penolakan bantuan dan pembatasan pergerakan,” kata Deputi Direktur Asia HRW, Phil Robertson.
Laporan ini dirilis pada hari yang sama pada saat Uni Eropa direncanakan akan menghapus semua sanksi terhadap Myanmar, kecuali embargo senjata, yang langkah itu disebut Robertson sebagai “prematur dan disayangkan” dan akan mengurangi pengaruh Uni Eropa terhadap rezim.
Dia meminta semua pendonor internasional, termasuk Amerika Serikat, untuk meningkatkan tekanan terhadap Myanmar guna mendorong perubahan demokratis di itu, yang telah mengakhiri pemerintahan militer pada tahun 2011 setelah beberapa dekade.
Situasi di Rakhine itu “jika dibiarkan berkembang, pada akhirnya akan mengancam upaya yang lebih besar ke arah reformasi,” kata Robertson kepada wartawan di Bangkok.
Juru bicara presiden Myanmar, Ye Htut, menuduh HRW mengumumkan laporannya bertepatan dengan keputusan sanksi Uni Eropa. “Pemerintah tidak akan memperhatikan laporan sepihak seperti itu,” katanya dalam komentar yang diposting di halaman Facebook-nya.
Dia mengatakan bahwa pihak berwenang sedang menunggu temuan komisi resmi yang dibentuk untuk menyelidiki aksi kekerasan tersebut, yang rilisnya beberapa kali tertunda.
HRW mencatat, secara umum pembersihan etnis didefinisikan sebagai kebijakan oleh satu kelompok etnis atau agama untuk menghapus kelompok lain dari daerah tertentu melalui kekerasan dan teror.
Di Rakhine, lebih dari 125.000 penduduk Rohingya dan penduduk Muslim lainnya telah diusir secara paksa, ditolak akses ke bantuan kemanusiaan dan tidak dapat kembali ke rumah, kata kelompok itu, dalam pemberitaan AFP, dilansir Taipei Times, Selasa (23/04/2013).
Menurut data pemerintah yang dikutip oleh HRW, 211 orang tewas dalam dua peristiwa kekerasan anti-Muslim di Rakhine sejak Juni 2012. Pengamat hak asasi yakin angka sebenarnya jauh lebih tinggi.
Dalam laporan yang didasarkan pada lebih dari 100 wawancara, ia mengatakan bahwa pihaknya telah menemukan bukti empat kuburan massal di Rakhine. Dalam satu episode pada bulan Juni, menurut HRW, satu truk pemerintah membuang 18 tubuh telanjang dan setengah telanjang di dekat kamp pengungsi Rohingya, yang digambarkan untuk menakut-nakuti mereka meninggalkan tempat itu.
Dalam insiden paling mematikan, menurut pengawas hak asasi, sekitar 50-70 Rohingya, termasuk 28 anak-anak, dilaporkan tewas di satu desa, setelah polisi dan tentara melucuti mereka dan gagal melindungi mereka dari serangan massa.
Myanmar memandang sekitar 800.000 penduduk Rohingya sebagai imigran ilegal Bangladesh. Ribuan orang telah melarikan diri dari Myanmar sejak Juni dengan menggunakan kapal reyot, yang sebagian besar diyakini menuju Malaysia setelah Bangladesh menolak mereka masuk.
Muslim lain juga menjadi sasaran dalam kekerasan bulan lalu di Myanmar tengah, setidaknya 43 orang tewas. BBC Senin kemarin merilis rekaman yang menunjukkan polisi berdiri di dekat perusuh Budha, termasuk para biksu, saat menyerang Muslim di kota Meiktila pada bulan Maret.
Penyiar Inggris mengatakan, dalam satu kasus polisi tampak memeriksa seorang pria terbakar tergeletak di tanah tanpa memberi bantuan.
Robertson mengatakan bahwa “kekebalan hukuman” terhadap pelanggaran di Rakhine telah mendorong tindakan ekstremis di bagian lain negara tersebut.
Human Rights Watch dan kelompok LSM lainnya telah mendesak pemimpin demokrasi Aung San Suu Kyi berbicara lebih tegas pada nasib minoritas Myanmar, dalam upayanya maju dalam pemilihan umum yang dijadwalkan berlangsung pada 2015.
Pekan lalu di Tokyo, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian mengatakan, dia merasa “sedih” atas ada pertumpahan darah anti-Muslim dan mendesak semua pihak menghormati “aturan hukum.”*