Hidayatullah.com–Laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan, negara paling banyak mengalami kasus bunuh diri adalah Guyana (44.2 per 100.000), disusul Korea Utara dan Selatan (38.5 and 28.9 respectively).
Berikutnya Sri Lanka (28.8), Lithuania (28.2), Suriname (27.8), Mozambik (27.4), Nepal dan Tanzania (masing-masing 24.9), Burundi (23.1), India (21.1), dan Sudan Selatan (19.8).
Setelah itu, Rusia dan Uganda (keduanya 19.5), Hungaria (19.1), Jepang (18.5), dan Belarusia (18.3), demikian laporan PBB dikutip DW.DE. [baca: Setiap 40 Detik ada Orang Bunuh Diri]
Kejahatan
WHO juga menyebut bunuh diri sebagai masalah kesehatan mental utama masyarakat yang harus dihadapi dan dikurangi jumlahnya, mempelajari kasus bunuh diri di 172 negara selama sepuluh tahun terkahir.
Dalam laporan, pada 2012, negara-negara berpenghasilan tinggi mempunyai tingkat bunuh diri sedikit lebih tinggi – 12,7 jiwa untuk setiap 100.000 orang, dibanding 11,2 di negara berpenghasilan rendah atau menengah.
Namun mengingat populasi kedua kategori terakhir ini lebih tinggi, maka mereka menyumbang angka yang lebih besar tiga perempat dari total di seluruh dunia.
Asia Tenggara, termasuk Korea Utara, India, Indonesia dan Nepal, menyumbang lebih dari sepertiga kasus bunuh diri tahunan di seluruh dunia.
WHO memperingatkan bahwa jumlah kasus bunuh diri sering tidak lengkap, dengan banyak negara yang gagal melakukan perhitungan akurat.
Sebagai tambahan, ”ada banyak percobaan bunuh diri untuk setiap kematian,” kata kepala WHO Margaret Chan.
“Dampak pada keluarga, teman, dan masyarakat sangat buruk dan jauh jangkauannya, bahkan lama setelah orang-orang terkasih mereka melakukan bunuh diri,” tambah dia.
Bunuh diri dan percobaan bunuh diri dianggap sebagai kejahatan di 25 negara, sebagian besar di Afrika, Amerika Selatan dan Asia, termasuk Indonesia
Meniru
Alexandra Fleischmann, salah seorang penulis laporan PBB tentang fenomena bunuh diri mengatakan sebagian kesalahan yang menyebabkan orang bunuh diri adalah publikasi atas kasus bunuh diri orang-orang terkenal, seperti antara lain yang terjadi pada actor Hollywood, Robin Williams.
Ella Arensman, presiden International Association for Suicide Prevention, mengatakan bahwa setelah kemunculan berita kematian Robbin Williams, ia menerima “lima surat elektronik dari orang-orang yang pulih (dari) krisis bunuh diri dan menyatakan mereka kini kembali berpikir untuk bunuh diri.”
Liputan luar biasa atas kasus bunuh diri orang terkenal bisa memiliki efek penularan kepada orang-orang yang rentan,” kata dia, mengacu kepada “peningkatan tajam” kasus bunuh diri setelah pemain bola Jerman Robert Enke bunuh diri pada 2009.
”Bunuh diri seharusnya tidak diglamorisasi atau disensasionalkan,” kata Fleischmann, sambil menyerukan kepada media massa agar tidak menyebut bunuh diri sebagai penyebab kematian pada bagian pertama laporan, namun menempatkan mereka di bagian akhir,” dengan menyebut di mana (para audiens) bisa meminta pertolongan.” *
.
.*