Hidayatullah.com—Perusahaan minyak milik negara Sudan Selatan telah dikuasai oleh orang-orang “elit predator” dan pendapatan minyak negara itu digunakan untuk membiayai perang sipil yang sedang berkecamuk, kata dua laporan terpisah yang dibuat oleh kelompok-kelompok antikorupsi.
Organisasi nonpemerintah Global Witness dan The Sentry mengatakan jutaan dolar dari Nile Petroleum Corporation (Nilepet) digunakan untuk mendanai militer dan kelompok bersenjata yang loyal kepada pemerintah, menjadikan perusahaan milik pemerintah itu terlibat dalam konflik berdarah di Sudan Selatan, lapor RFI Selasa (6/3/2018).
Kedua NGO itu mengkaji ribuan dokumen, sebagian merupakan domain publik dan sebagian dokumen bocoran, dan mereka mencapai kesimpulan tentang bagaimana pendapatan negara dari minyak dibelanjakan.
Menurut The Sentry, lebih dari 70 juta euro telah dibayarkan kepada para politisi, pejabat militer dan dinas-dinas keamanan Sudan Selatan.
NGO itu juga mengklaim memiliki bukti bahwa Nilepet menggunakan dananya untuk mendukung milisi Dinka yang dikenal sebagai White Army, kelompok yang menyebabkan bencana kemanusiaan di Sudan Selatan termasuk serangan tahun 2016 atas kantor PBB di Malakal di mana puluhan warga sipil tewas.
Nilepet membantah uangnya dipergunakan mendanai milisi.
“Orang-orang penting di pemerintahan dan aparatur keamanan secara efektif telah mengambil alih kendali atas perusahaan dan menjalankannya sesuai kepentingan mereka,” kata Michael Gibb, pemimpin kampanye Global Witness
“Banyak dari pembayaran itu, khususnya kepada milisi-milisi etnis dan pasukan keamanan yang terlibat pelanggaran HAM serius, menerima pendanaan mereka yang disalurkan lewat Nilepet,” kata Gibb.
Meskipun seluruh sahamnya dimiliki pemerintah, Nilepet dijalankan layaknya perusahaan swasta, sehingga memungkinkannya dipergunakan untuk maksud-maksud tertentu dari pemerintah.
Sudan Selatan diketahui memiliki cadangan minyak terbesar ketiga di Afrika, sekitar 3,5 miliar barel.
“Ada sejarah di kalangan negara-negara yang bergantung pada minyak, yang namanya kutukan minyak,” kata Ewan Lawson, seorang peneliti senior tentang pengaruh militer di Royal United Services Institute.
“Tidak mengejutkan. Hal paling mengecewakan adalah kebanyakan dari kita melihat Sudan Selatan memiliki kesempatan untuk memulai sebuah negar baru dari awal. Namun, sebagaimana terlihat jelas sejak dini bahwa pendapatan minyak tidak diepergunakan sebagaimana mestinya untuk kepentingan negara,” imbuh Lawson.
Kedua laporan yang dibuat dua NGO itu membeberkan bukti aliran uang yang menghubungkan Nilepet dengan perusahaan-perusahaan lebih kecil yang dikendalikakn oleh teman dan keluarga dari elit-elit politik Sudan Selatan.
The Sentry menyeru agar masyarakat internasional menarget jaringan yang berada di balik kekerasan di Sudan Selatan dengan sanksi.
Menurut kedua NGO itu pihak perbankan dan perusahaan finansial ikut berperan. Semua transaksi dalam dolar, misalnya, dialirkan lewat New York. Mereka menyeru agar pihak regulator mencermati dari mana uang itu datang dan ke mana perginya.
Mereka juga menyarankan agar negara-negara tetangga Sudan Selatan ikut ditekan.
Global Witness meminta perusahaan-perusahaan yang bekerja di sektor perminyakan di Sudan Selatan memastikan operasional mereka sejalan dengan standar internasional, transparansi dan keterbukaan.*