Hidayatullah.com—Badan legislatif Hong Kong hari Rabu (23/10/2019) resmi mencabut RUU ekstradisi, tetapi langkah itu sepertinya tidak akan mengakhiri unjuk rasa berkepanjangan yang dilakukan kelompok pro-demokrasi.
RUU tersebut, yang memungkinkan para tersangka kriminal diekstradisi ke China daratan, menyulut kemarahan rakyat Hong Kong ketika diperkenalkan pertama kali pada bulan April.
Sejak itu, ratusan ribu orang turun ke jalan, dan sekarang RUU itu dicabut.
Krisis itu merupakan yang terburuk di Hong Kong sejak bekas koloni Inggris tersebut diserahkan kembali ke tangan China pada 1997.
Sebelum resmi dinyatakan dicabut oleh badan legislatif Hong Kong, Carrie Lam pada 4 September mengumumkan penarikan RUU ekstradisi yang diajukan pemerintahannya yang sudah masuk ke meja legislatif.
Pencabutan RUU tersebut secara resmi hanya memenuhi satu dari lima tuntutan kunci yang ditekankan oleh para pengunjuk rasa, yang kerap meneriakkan seruan “lima tuntutan, bukan dikurangi satu”.
Empat tuntutan lainnya yaitu agar unjuk rasa atau aksi protes tidak dianggap sebagai “kerusuhan”, amnesti bagi para pengunjuk rasa yang ditangkap, penyelidikan independen terhadap kebrutalan anggota kepolisian ketika menghadapi demonstran, serta implementasi sepenuhnya hak universal untuk memilih dalam pemilihan-pemilihan politik.
Pemimpin eksekutif Hong Hong Carrie Lam bersikukuh mengatakan bahwa tuntutan-tuntutan selain pencabutan RUU yang diminta pengunjuk rasa di luar dari kuasanya.*