Hidayatullah.com—Panasnya suhu udara dan kekeringan parah yang melanda Prancis memaksa 76 dari 96 wilayah département (kira-kira setingkat kabupaten) di Prancis daratan memberlakukan pembatasan ketat penggunaan air. Situasi sulit itu mendorong para petani untuk meminta bantuan pemerintah guna menutupi kerugian mereka akibat rusaknya tanaman pertanian.
“Situasi luar biasa menuntut kebijakan luar biasa,” kata Christiane Lambert, kepala Persatuan Petani Nasional Prancis kepada stasiun radio France Inter hari Selasa (11/8/2020), ketika dia mendesak pemerintah untuk mendukung industri agrikultur guna membantu petani dalam menghadapi cuaca panas ekstrem.
“Kami menanti dukungan finansial dari pemerintah untuk membantu petani menghadapi kondisi yang mengejutkan ini, perlu adanya bantuan struktural,” cuit Lambert di Twitter seperti dilansir RFI.
Gelombang panas yang menggigit telah mengacaukan kehidupan petani yang mengandalkan nafkah dari lahan pertaniannya.
Banyak petani menyaksikan lahan mereka yang semula ijo royo-royo perlahan tapi pasti garing menguning, karena panas yang terus menerus membuat tanah kering dan pecah-pecah.
Sebanyak 76 département sekarang terpaksa memberlakukan aturan ketat penggunaan air guna mencegah agar wilayah mereka tidak kekeringan seluruhnya.
“Satu miliar euro diperlukan untuk pemulihan tetapi kami membutuhkan bantuan darurat sekarang dalam bentuk uang tunai,” kata Lambert.
Kepala persatuan petani Prancis itu merekomendasikan diberikannya bantuan dana talangan dengan memangkas pajak properti bagi petani dan membolehkan petani untuk menunda pembayaran pajak mereka, sehingga beban-beban pajak itu tidak semakin membuat kantong petani bolong.
Menurut Lambert, selain gelombang panas dan kekeringan kondisi petani Prancis diperparah dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam rangka meredam penularan Covid-19.
Seolah tidak memahami penderitaan petani, hari Sabtu malam lalu puluhan ribu orang menginvasi lahan privat di kawasan taman nasional Cévennes di Lozère. Puluhan ribu orang tersebut asyik melakukan pesta sehingga menimbulkan kerusakan di lahan pertanian di sekitar lokasi. Kurang ajarnya, kebanyakan dari mereka masih bertahan di sana tiga hari usai pesta liar tersebut.
“Kami sedang menghadapi kekeringan yang sulit dengan sumber daya terbatas, kami hancur, kami tidak butuh ada tambahan masalah lagi,” kata Bruno Commandré, wakil kepala daerah Lozère yang juga seorang petani.
“Saya marah, tetapi saya juga marah kepada pemerintah yang membiarkan pesat gila-gilaan ini terjadi,” ujarnya kepada koran Le Figaro.*