Hidayatullah.com — Prancis akan gunakan undang-undang anti-teror baru untuk melakukan pengawasan teknologi yang ditujukan untuk intelijen. Hal itu setelah serangan baru-baru ini yang dilakukan oleh individu-individu yang diklaim “diradikalisasi”, menteri dalam negeri Prancis mengumumkan, dilansir oleh Anadolu Agency.
Rancangan undang-undang anti-teror Prancis itu akan diajukan pada 28 April atas permintaan Presiden Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Jean Castex, Gerald Darmanin mengatakan kepada Journal du Dimanche pada hari Sabtu (24/04/2021).
Undang-undang baru tersebut akan memperkuat pengawasan teknologi dan menyediakan “pemutakhiran dan pelestarian penggunaan algoritma, yaitu pemrosesan otomatis data koneksi, oleh Direktorat Jenderal Keamanan Dalam Negeri (DGSI),” katanya.
Darmanin mengatakan tindakan anti-teror baru ini penting karena pihak berwenang sekarang berurusan dengan apa yang didekripsikan sebagai “individu yang terisolasi, semakin muda, tidak dikenal oleh badan intelijen sebelum tindakan mereka dan tanpa harus ada hubungan dengan jaringan Islam yang mapan”. Namun, mereka lebih banyak menggunakan internet dan media sosial daripada telepon tradisional, yang membuatnya sulit untuk ditemukan.
Ini adalah kasus penyerang dalam pembunuhan guru sejarah Samuel Paty pada bulan Oktober, dan penikaman seorang pejabat polisi di dalam kantor polisi Rambouillet pada hari Jum’at (23/04/2021).
Imigran muda Chechnya dalam kasus Paty telah melarikan diri dari kewaspadaan tetapi menghubungi kontak di Suriah melalui pesan Instagram, kata Darmanin. Dia menambahkan: “hukum harus memungkinkan kami menjadi lebih efisien, dengan memperkuat kami di bidang teknologi yang digunakan oleh teroris”.
RUU tersebut juga akan membahas masalah terkait terorisme lainnya seperti peningkatan durasi tindak lanjut administratif bagi mereka yang dibebaskan dari penjara atas tuduhan teror, dari satu tahun menjadi dua tahun. Dan meningkatkan akses ke tindak lanjut sosio-psikiatri dari orang-orang yang berpotensi berbahaya.
Darmanin mengatakan pemerintah memperkenalkan langkah-langkah dan undang-undang baru seperti RUU yang mengkonsolidasikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip Republik.
Dia mengatakan ancaman kelompok radikal masih sangat kuat dan sejak 2017, ada 14 serangan yang menyebabkan kematian 25 orang dan 36 potensi serangan digagalkan. Sebanyak 575 orang yang namanya tercantum dalam berkas radikalisasi, diusir dari Prancis, dan sekitar 20 sekolah bawah tanah ditutup.
Selain itu, Prancis juga menghadapi ancaman “ultra-kanan, konspirasi, penyintas,” katanya, merinci bahwa lima rencana teroris dari kelompok tersebut digagalkan, tiga di antaranya menargetkan tempat-tempat budaya atau ibadah Muslim.*