Hidayatullah.com — Asosiasi Ulama Muslim Aljazair menyangkal klaim Presiden Prancis Emmanuel Macron bahwa kehadiran Kekhalifahan Utsmaniyyah di Aljazair adalah penjajahan.
“Utsmaniyyah tidak datang ke Aljazair sebagai penjajah, namun atas undangan Aljazair untuk membantu mereka mengalahkan agresi tentara Salib Spanyol,” ujar Muslim Abdul-Razzaq Qassoum, ketua Asosiasi Ulama Muslim, di lansir Anadolu Agency, Selasa (12/10/2021).
Hubungan kedua negara menegang setelah pernyataan presiden Macron tentang masa lalu negara Afrika Utara yang pernah di jajah Prancis.
Macron mengklaim bahwa penjajahan sudah terjadi sebelum pemerintahan kolonial Prancis di Aljazair, merujuk pada Kekhalifahan Utsmaniyyah dari 1514-1830. Klaim itu di pandang sebagai upaya meredam sejarah buruk kolonial Prancis yang mengerikan.
Menurut Qassoum, Utsmaniyyah tidak seperti Prancis, tidak membantai rakyat Aljazair, atau menghancurkan tanah serta menjarah kekayaan mereka.
Rakyat Aljazair, lanjutnya, memiliki banyak kekayaan (di bawah kepemimpinan Utsmaniyyah). Selain itu, kekhalifahan juga tidak memaksakan bahasa mereka pada rakyat Aljazair ataupun keyakinan mereka.
Sementara, perlakuan berbeda di lakukan pemerintah penjajah Prancis. Mereka membawa “tragedi dan kesengsaraan” kepada rakyat Aljazair.
Pernyataan Macron pada akhir September yang menyatakan negara Aljazair tidak ada sebelum pemerintahan kolonial Prancis dan kolonisasi lain mendahului negaranya memicu badai kecaman di Aljazair.
Sejarah Masjid Utsmaniyyah di Aljazair
Presiden Aljazair Abdelmedjid Tebboune mengutuk pernyataan Macron sebagai “penghinaan yang tidak dapat diterima” kepada para martir, memanggil Duta Besar negaranya untuk Prancis Antar Daoud untuk berkonsultasi, dan menutup wilayah udara untuk pesawat militer Prancis yang digunakan dalam operasi anti-terornya di Sahel.
Presiden Tebboune, dalam siaran televisi pada Ahad, mengatakan Prancis membantai hampir 4.000 orang Islam selama era kolonial 1830-1962.
Mereka di bunuh ketika melakukan aksi protes di dalam Masjid Utsmaniyyah yang di sebut Ketchaoua untuk menghentikan pengubahan menjadi gereja.
Sekitar 1,5 juta orang Aljazair terbunuh dan jutaan lainnya mengungsi dalam perjuangan delapan tahun untuk kemerdekaan yang di mulai pada 1954.
Prancis juga telah melakukan genosida budaya terhadap Aljazair sejak 1830, menghancurkan sejarah Utsmaniyyah. Sejarah berusia 300 tahun dan identitas lokalnya sendiri, dan juga mengubah banyak monumen budaya dan agama di negara tersebut.
Paris tidak pernah secara resmi meminta maaf kepada Aljazair sebagai negara atas kebijakan kolonialnya di negara itu.