Hidayatullah.com–Malta pekan ini akan menjadi negara Eropa pertama yang melegalkan penanaman dan kepemilikan ganja untuk penggunaan pribadi.
Kepemilikan hingga tujuh gram ganja dilegalkan bagi mereka yang berusia 18 tahun ke atas, dan diperbolehkan menanam hingga empat tanaman ganja di rumah, dengan produk kering yang dapat disimpan maksimal 50 gram.
Setelah disahkan parlemen hari Selasa (14/12/2021), RUU-nya kemudian akan ditandatangani oleh Presiden Malta agar dapat diterapkan sebagai undang-undang pada akhir pekan ini, kata Owen Bonnici, menteri yang bertanggung jawab atas hal tersebut kepada The Guardian.
Bonnici mengatakan pemerintahnya tidak bermaksud mendorong penggunaan obat-obatan terlarang, tetapi tidak ada bukti bahwa penggunaan ganja itu sendiri merupakan pintu gerbang menuju ke penggunaan narkoba yang lebih keras.
Menurut Bonnici, Malta menggunakan pendekatan menghindari kriminalisasi penggunaan ganja sambil mengaturnya guna memastikan dampak buruknya dapat dikurangi.
Kepemilikan hingga 28 gram akan dikenakan denda €50-€100 tetapi tidak menjadi catatan kriminal. Mereka yang berusia di bawah 18 tahun yang kedapatan memilikinya akan dibawa ke komisi keadilan untuk memperoleh rekomendasi rencana perawatan dan bukan ditangkap untuk diadili. Mereka yang mengonsumsi ganja di depan anak-anak diancam denda antara €300 dan €500.
Selain mengizinkan orang menanam tanaman memabukkan itu di rumah, klub-klub ganja nirlaba diperbolehkan membudidayakannya untuk didistribusikan terbatas bagi anggota mereka, mirip dengan yang berlaku di Spanyol dan Belanda.
Keanggotaan klub akan dibatasi hingga 500 orang dan setiap orang memperoleh paling banyak 7 gram sehari dan total maksimum 50 gram sebulan. Klub-klub itu, yang tidak boleh berada kurang dari 250 meter jaraknya dari sekolah, organisasi atau pusat kegiatan pemuda, juga diizinkan mendistribusikan hingga 20 bibit tanaman ganja ke setiap anggota setiap bulan.
Bonnici mengatakan pemerintahnya berdebat panjang mengenai apakah akan mengendalikan kekuatan ganja yang dapat ditanam dan digunakan, diukur dengan tingkat psikoaktif kunci delta-9-tetrahydrocannabinol (TCH) – zat dalam ganja yang membuat orang “teler” berat atau ringan tergantung kadarnya.
“Kami berdebat panjang secara internal soal itu. Dan kami menyimpulkan bahwa apabila batas kekuatan kanabis ditentukan, yaitu level THC-nya, maka kita justru akan membuka peluang baru di pasar gelap. Apa yang perlu kita lakukan adalah mengedukasi masyarakat dan memberitahukan mereka [tentang risikonya] dari hari ke hari,” kata Bonnici.
Lankah yang diambil Malta, negara terkecil di antara anggota Uni Eropa, sepertinya akan diikuti oleh sejumlah negara lain pada tahun-tahun mendatang.
Jerman belum lama ini mengumumkan akan membuka pasar legal ganja yang diatur ketat, menyusul pengumuman serupa oleh pemerintah Swiss, Luxembourg dan Belanda.
Italia merencanakan referendum untuk memutuskan masalah legalisasi kanabis.
Sementara Kanada, Meksiko dan 18 negara bagian di Amerika Serikat sudah memiliki undang-undang yang memperbolehkan penggunaannya untuk keperluan medis atau rekreasi personal.
Perserikatan Bangsa-Bangsa Desember 2020 mencoret ganja alias kanabis alias mariyuana dari daftar zat adiktif dan berbahaya dan hanya memiliki sedikit atau tidak sama sekali manfaat terapi.*