Hidayatullah.com–Kasus pelecehan anak meningkat empat kali lipat dalam dekade terakhir, menurut Badan Kepolisian Nasional, dengan rekor kasus tertinggi dilaporkan selama pandemi Covid-19.
Dilansir Asahi Shimbun Senin (21/3/2022), pada tahun 2021, polisi melaporkan 2.174 kasus secara nasional, naik 41 dari tahun sebelumnya.
Laporan tersebut, yang dirilis pada 10 Maret, juga mengatakan bahwa 2.219 anak di bawah usia 18 tahun menjadi sasaran kekerasan pada tahun 2021, naik 47 dari tahun sebelumnya.
Kedua angka tersebut merupakan rekor tertinggi selama delapan tahun berturut-turut dan telah meningkat empat kali lipat dalam 10 tahun terakhir, menurut laporan itu.
Lebih dari 80 persen dari kasus yang dilaporkan, atau 1.766, berupa kekerasan fisik seperti penyerangan dan pencederaan, sementara 339 merupakan kasus seksual.
Lima puluh empat anak meninggal disebabkan kekerasan itu, 29 di antaranya meninggal dengan cara pembunuhan-bunuh diri.
Polisi melaporkan kemungkinan kasus kekerasan terhadap anak yang diadukan ke pusat konsultasi anak mencapai rekor tertinggi 108.059 anak pada tahun 2021.
Laporan itu juga mengatakan 45.972 anak, lebih dari 40 persen dari 108.059 kasus, menyaksikan seorang anggota keluarga melakukan kekerasan fisik terhadap anggota keluarga lainnya.
Polisi mengatakan sulit untuk menyimpulkan secara statistik bahwa peningkatan itu disebabkan pandemi Covid-19.
Namun, polisi berjanji untuk mewaspadai potensi dampak karena kekerasan terhadap anak yang cenderung disembunyikan, sebab pandemi mengurangi kesempatan pihak berwenang untuk memantau anak.
Para ahli mengatakan bahwa setiap kali “gelombang” infeksi pandemi melanda, sulit bagi pihak berwenang dan kelompok pendukung untuk memeriksa keselamatan anak-anak yang diduga menjadi korban kekerasan.
Seorang direktur pusat konsultasi anak mengatakan penting untuk mengkonfirmasi secara visual keselamatan (seorang anak) dalam waktu 48 jam setelah polisi memperingatkan tentang kemungkinan adanya kasus kekerasan terhadap anak.
Namun, sebagian orang tua telah menolak kunjungan rumah oleh pihak berwenang dengan alasan pandemi, kata direktur itu.
Makiko Okuyama, seorang psikiater anak dan anggota dewan Japanese Society for Prevention of Child Abuse and Neglect, mengatakan sekolah-sekolah dan organisasi terkait lebih memprioritaskan penerapan tindakan anti-virus karena merebaknya varian Omicron, sedangkan perubahan perilaku anak semakin terabaikan.
Selama pandemi banyak kelas diadakan secara online, dan bahkan ketika anak-anak pergi ke sekolah, sulit untuk membedakan ekspresi wajah mereka disebabkan mereka mengenakan masker, kata Okuyama.
Psikiater anak itu mengatakan faktor risiko kekerasan terhadap anak meningkat, dengan kekhawatiran bahwa kasus pelecehan seksual khususnya semakin banyak yang disembunyikan.
Kekerasan seksual sering kali terungkap oleh seorang anak yang melaporkan atau menceritakannya kepada guru taman kanak-kanak atau teman yang mereka percayai. Namun, kesempatan untuk mengadu itu hilang disebabkan pandemi, katanya.*