Hidayatullah.com—Pemerintah Sri Lanka hari Selasa (16/3/2021) mengatakan perlu waktu untuk mempertimbangkan usulan larangan penggunaan Burqa, yang disebut salah satu pejabat keamanan sebagai tanda ekstremisme agama.
Dilansir Associated Press, Menteri Keamanan Publik Sarath Weerasekara, hari Sabtu mengatakan bahwa dirinya berupaya agar usulan larangan burqa disetujui oleh kabinet. Menurutnya larangan itu akan memberikan pengaruh langsung terjadap keamanan nasional.
Akan tetapi, jubir pemerintah Keheliya Rambukwella mengatakan larangan itu merupakan keputusan serius yang terlebih dahulu memerlukan konsultasi dan konsensus.
“Keputusan akan diambil setelah konsultasi, jadi perlu waktu,” ujarnya tanpa memberikan keterangan lebih lanjut, dalam penjelasan rutin mingguan kepada pers.
Sebelumnya, Dubes Pakistan Saad Khattak lewat Twitter mengatakan bahwa larangan itu hanya akan melukai perasaan kaum Muslim.
Sedangkan pelapor khusus PBB untuk urusan kebebasan beragama Ahmed Shaheed lewat Twitter mengatakan larangan itu tidak sejalan dengan hukum internasional dan hak kebebasan menjalankan ajaran agama.
Penggunaan burqa di Sri Lanka sempat dilarang pada tahun 2019, tidak lama setelah peristiwa bom Paskah menewaskan lebih dari 260 orang.
Dua kelompok Muslim lokal yang bersumpah setia kepada ISIS alias IS dituding sebagai pelaku serangan di enam lokasi — yang terdiri dari dua gereja Katolik Roma, satu gereja Protestan dan tiga hotel ternama.
Sri Lanka juga berencana menutup lebih dari 1.000 madrasah dengan alasan sekolah Muslim itu tidak terdaftar dan tidak mengikuti kebijakan pendidikan nasional.
Muslim mencakup sekitar 9% dari 22 juta penduduk Sri Lanka. Mayoritas penduduk, lebih dari 70% merupakan penganut ajaran Buddha. Etnis minoritas Tamil yang kebanyakan beragama Hindu mencakup sekitar 15% dari populasi negara pulau itu.*