Hidayatullah.com— Presiden SBY seharusnya tidak boleh ragu untuk menolak artis seperti Lady Gaga atau tokoh seperti Irshad Mandji. Sebab jika diloloskan, berat nanti pertanggungjawabannya bagi SBY di akherat.
Pernyataan bernada mengingatkan ini disampaikan Dr Adian Husaini dan Dr Hamid Chalid dalam diskusi tentang “Konsepsi Negara dalam Islam dan Kontribusinya dalam Pembentukan NKRI” kemarin di Universitas Indonesia (UI). Acara yang berlangsung meriah ini dilaksanakan oleh Forum Studi Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia.
“Berat nanti pertanggungjawabannya di akherat, bila membolehkan,”kata Adian yang juga Ketua Program Studi Pendidikan Islam Pasca Sarjana UIKA ini.
Selain menyinggung Irshad Manji dan Lady Gaga, Adian juga membahas konsep Negara Indonesia yang menurutnya, Indonesia berkonsep Negara Tauhid. Hal ini menurutnya dinyatakan Mohammad Hatta kepada tokoh-tokoh Islam saat itu di seputar proklamasi 1945. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai pengganti dari Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya jelas bermakna Tauhid, sehingga tokoh-tokoh Islam saat itu menyetujuinya.
“Apalagi di pembukaan UUD 45 dinyatakan Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Allah sebagai tuhan adalah konsep yang hanya dimiliki Islam,”tegas Adian.
Sementara itu,Dr Hamid Chalid juga ikut menyetujui jika orang seperti Lady Gada, Isrhad Mandji dan sejenisnya mesti ditolak dari bumi Indonesia. Menurut Hamid, mereka berlindung dibalik faham kebebasan manusia atau liberalisme.
“Faham liberalisme ini anak kandung materialisme. Materialisme ini menyatakan bahwa tidak ada yang eksis kecuali benda atau buah interaksi dari benda,”terang dosen Fakultas Hukum UI ini.
Liberalisme, menurut Hamid membebaskan manusia dari keterikatan apapun yang dianggap tidak ada.
“Ketika orang dibebaskan dari apapun, maka dia akan menuhankan dirinya sendiri. Padahal al-Qur’an menyatakan,”Apakah kamu tidak melihat orang yang menjadikan hawanya (nafsunya) sebagai tuhannya,”paparnya.
Menurut Hamid, Indonesia adalah negara syura (musyawarah) bukan demokrasi. Dalam sila keempat tidak ada kata demokrasi. Sila keempat berbunyi, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”
Sementara demokrasi adalah anak kandung pertama liberalisme yang menyerukan hak individu mutlak. “Karena itu mereka bebas juga mengakhiri hidupnya sendiri (bunuh diri),”terangnya.
Menurut Adian sistem Islam terletak di antara teokrasi dan demokrasi. Penguasa mendapat amanat atau legitimasi dari rakyat, karena itu ia dapat dikoreksi. Dalam teokrasi, pope can’t do no wrong. Sementara dalam Islam tidak.
“Dalam Islam kesepakatan adalah ijmak ulama atau kesepakatan orang berilmu bukan ijmak juhalaa’ (kesepakatan orang-orang bodoh, red). Sehingga satu suara profesor dihargai sama dengan satu orang yang hampir gila,” paparnya.
Pancasila dan Islam
Adian menambahkan bahwa dalam Pancasila banyak kata-kata kunci Islam yang dimasukkan oleh empat tokoh Islam yang terkemuka saat itu. Yaitu: Agus Salim, Abikusno Tjokrosoeyoso, Wachid Hasyim dan Prof Kahar Muzakir.
“Mereka bukan sembarangan. Mereka tokoh-tokoh Islam yang hebat yang merumuskan Pancasila ini berbeda jauh dengan rumusan Yamin dan Soekarno,” terang Adian sambil menunjukkan bukunya yang berjudul “Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam.”
Melihat buku itu, Hamid langsung menganjurkan mahasiswa agar membacanya dan bahkan ia akan mewajibkan bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah Studi Hukum Islam untuk membaca buku itu.
Adian melanjutkan bahwa kata adil dan adab dalam sila kedua adalah kata-kata kunci dalam Islam.
“Apakah ada kata adil dan adab dalam Jawa atau Sunda, atau sebelum masuknya Islam ke Indonesia?” tuturnya. Kata adil banyak terdapat dalam Al Qur’an (dan Sunnah). Kata adab banyak digunakan para ulama, khususnya Melayu.
Karena itu, menurutnya undang-undang yang berkenaan syariat Islam dapat diberlakukan dengan sah di negeri ini. UU tentang Perkawinan, UU Perbankan Syariah, UU tentang Pornoaksi dan Pornografi, Perda-Perda yang berkaitan dengan syariat dan lain-lain. Tapi anehnya, justru banyak yang menginginkan konstitusi Indonesia jauh dari Islam.
“KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia) pernah berkirim kepada SBY untuk mencabut 151 Perda yang dianggap bertentangan dengan konstitusi,”terangnya.
Melihat fenomena politik di Indonesia, peneliti INSISTS (Instititute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) ini menganjurkan agar tokoh-tokoh banyak membaca sejarah Islam Indonesia dengan benar.
Ia mengutip sejarah Gajah Mada yang menyatukan Nusantara. Padahal menurut Adian itu hanyalah mitos.
“Itu hanya mitos belaka. Sebab yang menyatukan Indonesia atau Melayu Nusantara ini adalah Islam dan bahasa Melayu,”tegasnya mengutip Prof Naquib al Attas dalam bukunya tentang sejarah “Islam Melayu Nusantara”.
Menurut acara diskusi Adian mengharapkan para pendidik Islam untuk berani mengubah kurikulum sejarah Indonesia yang saat ini kebanyakan mengikuti warisan Belanda, dengan sejarah Islam Indonesia yang benar. Ia juga mengharapkan agar generasi muda Islam nantinya bangga dengan sejarahnya dan hal itu akan sangat berpengaruh pada perpolitikan Indonesia di masa depan.*/nh