Hidayatullah.com– Pakar Hadits, Dr Daud Rasyid menyayangkan adanya kritik yang meremehkan Kitab Ahkamus Sulthaniyah, karya Imam al Mawardi.
“Tidak ada ulama (besar) yangg mengritik al Mawardi dalam bukunya ini. Persoalannya kaum intelektual sekarang banyak yang berguru kepada Orientalis,” tegasnya dalam pengajian politik di Masjid Al Azhar, Kebayoran Baru.
Ia juga menyayangkan bahwa kitab ini dinilai cara pandang politik kaum Sunni. Menurutnya, kajian terhadap kitab itu, karena memang tidak ada literatur Syiah yang dapat dibanggakan. Di samping di dalamnya banyak penyelewengan-penyelewengan.
“Sebagai manusia biasa tentu al Mawardi ada kelemahan. Tetapi itu tidak menyangkut fikrah dalam bukunya Ahkamus Sulthaniyah,” terang doktor ilmu hadits Universitas Kairo ini.
Ia menyarankan jika ingin tahu Imam Mawardi bacalah disertasi Prof Shalahudin Basyuni yang berjudul ‘Al Fikrus Siyasi Indal Mawardi’ (Pemikiran Politik Imam Mawardi).
“Prof Shalahuddin menyatakan ini kitab karangan raksasa,”papar Dr Daud sambil membacakan teks asli disertasinya. Orang-orang yang semasa Al Mawardi banyak mengutip kitab ini, karena keseriusan dan kecerdasannya.
“Ibnu Syu’bah menyatakan ini sebuah karya luar biasa yang mengagumkan,” terangnya.
Kitab Ahkamus Sulthaniyah juga membahas masalah kekinian, mencakup pengangkatan kepala negara, pengangkatan menteri, pengangkatan gubernur, pengangkatan pimpinan jihad, pemimpin polisi, qadhi/hakim , mahkamah madhalim, perwakilan-perwakilan, imam-imam shalat, pimpinan pelaksanaan ibadah haji, petugas penarik zakat, fa’i, penentuan jizyah dan kharaj, mengolah tanah, eksplorasi air, pengggembalaan umum, administrasi negara dan hukum-hukumnya dan hukum pidana/jinayat.
Dalam kitab ini disebutkan bahwa lembaga kepala negara dibuat untuk menggantikan kenabian. Dengan tujuan untuk menjaga agama dan mengatur dunia.
“Kalau sebuah negara tidak memasukkan agama dalam fungsi dan jabatannya maka tidak masuk imamah,”paparnya dengan serius. Padahal menyelenggarakan imamah itu wajib hukumnya dan telah disepakati para ulama.
“Tetapi jenis kewajibannya diperdebatkan apakah wajib bil aqli atau bis syar’i,”terangnya.
Karena suatu wilayah mesti ada pemimpin yang mengatur agar tidak terjadi kekacauan. Dalam syair dinyatakan:
Keadaan manusia tidak akan menjadi baik kalau hidup dalam kekacauan
Dan tidak ada pemimpin kalau yg memimpin mereka adalah orang-orang jahil
Menurut Dr Daud, problema dunia Islam ada di sini, yaitu yang memimpin tidak mengerti agama.
“Wajar kalau negara kita kacau balau, karena pemimpin kita tidak mengerti agama. Mempunyai ilmu yang mumpuni sehingga bisa ijtihad untuk kasus-kasus di lapangan dengan hukum-hukum syar’i,” tegas Daud.*