Hidayatullah.com- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak Jokowi untuk menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan, sebab tidak sejalan dengan program Nawacita yang diusung Jokowi, bahkan kontra produktif.
Selain itu, RUU Pertembakauan dapat memiskinkan masyarakat Indonesia, membuat program finansial JKN dan BPS jebol serta menjadi bak sampah raksasa dari industri rokok nasional dan multinasional. Demikian pernyataan disampaikan Ketua Harian YLKI Tulus Abadi dalam siaran persnya yang diterima redaksi hidayatullah.com, Rabu (27/07/2016) kemarin.
“Kalau dilihat dari sisi filosofi dan kontennya, RUU Pertembakauan adalah RUU yang sangat membahayakan ketahanan nasional, baik dari sisi ekonomi, sosial dan bahkan politik,” Tulus menegaskan.
Alasannya, lanjut Tulus, pertama, RUU Pertembakauan akan mendorong dengan cepat tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia. Sebab, tujuan utama RUU Pertembakauan adalah meningkatkan produksi rokok nasional tanpa batas. Sedangkan di sisi lain, kelompok masyarakat yang paling tinggi mengonsumsi rokok di Indonesia ialah rumah tangga miskin.
“Data BPS membuktikan bahwa, rokok menjadi kebutuhan kedua setelah beras. Rumah tangga miskin di Indonesia menggunakan pendapatannya untuk konsumsi rokok 12,4 persen dari pendapatan setiap bulannya,” ungkapnya.
Masih menurut data BPS, lanjut Tulus, pantas jika konsumsi rokok menjadi pemicu utama tingkat kemiskinan paling tinggi di Indonesia. Karena itu, RUU Pertembakauan akan menjadi instrumen paling ampuh untuk meningkatkan prosentase masyarakat miskin di Indonesia. “Target pemerintah dalam memenuhi SDGs akan gagal total jika RUU Pertembakauan disahkan menjadi UU,” imbuhnya menegaskan.
Selain itu, katanya, RUU Pertembakauan dapat mengakibatkan pola pembiayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) jebol dan ‘berdarah-darah’. Sebab, konsumsi rokok merupakan salah satu pemicu utama penyebab penyakit utama yang dominan seperti stroke, jantung koroner, bahkan diabet. Menurutnya, tingginya konsumsi rokok di tengah upaya rendahnya kampanye dan perilaku hidup sehat akan meningkatkan jumlah penyakit tidak menular tersebut secara signifikan.
“Berapapun tarifnya, maka tidak akan mampu menanggung biaya operasional, sebab jumlah masyarakat yang sakit terus meningkat,” jelasnya.
Lebih jauh lagi, Tulus menyampaikan, RUU Pertembakauan adalah agenda terselubung dari kepentingan asing untuk mengukuhkan Indonesia sebagai negara terakhir yang akan dijadikan target pemasaran rokok. Mengingat, jumlah penduduk dan perokok di Indonesia sangat besar, dengan pertumbuhan perokok tercepat dan tertinggi di dunia yaitu, 14 persen per tahun.
“Padahal, sekarang ini, 188 negara di dunia telah meregulasi dan membatasi konsumsi, penjualan, promosi dan iklan rokok dengan sangat ketat. Hanya Indonesia yang sangat melonggarkan konsumsi, penjualan maupun promosi rokok. Dan RUU Pertembakauan bisa menjadi alat yang paling efektif untuk memudahkan akses dan konsumsi rokok di Indonesia,” Tulus prihatin.
Mengingat begitu cepatnya pembahasan dan rencana pengesahan RUU Pertembakauan, Tulus menduga, RUU Pertembakauan adalah produk RUU yang transaksional, koruptif ataupun kolutif. Karena itu, YLKI juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dapat mengawasi dan menyelidiki proses pembahasan RUU Pertembakaua ini.