Hidayatullah.com– Terkait pencabutan larangan iklan rokok pada Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dinilai keliru, jika hanya mengacu pada keputusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan iklan rokok karena rokok merupakan produk legal.
Sebab, ada berbagai keputusan MK terkait UU Kesehatan pasal 113 dan 114 (perkara nomor 19/PUUVIII/2010, nomor 55/PUUIX/2011, nomor 24/PUUX/2012, nomor 66/PUUX/2012) yang menegaskan bahwa rokok adalah zat adiktif.
Demikian pandangan hukum Muhammad Joni dari Indonesian Lawyer Assosiation for Tobacco Control, yang tergabung dalam Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau. Koalisi ini menolak draf RUU Penyiaran versi Baleg DPR.
Baca: Jika Bolehkan Iklan Rokok, Pemerintah Dinilai Sedang Membunuh Generasi Mendatang
Oleh karena itu, jelas Joni, iklan rokok harus dilarang sebagaimana diberlakukan pada zat adiktif lainnya, seperti alkohol.
Ia melanjutkan, posisi rokok sebagai produk legal tidak serta merta menjadikannya boleh diiklankan. Sebab ada produk legal yang tidak normal, dilarang untuk diiklankan.
Yakni, jelasnya, produk yang memerlukan pengawasan khusus dan penggunaannya bisa merugikan masyarakat sehingga peredarannya perlu dikendalikan.
Seperti psikotropika untuk kepentingan medis dan susu formula, yang keduanya dilarang beriklan karena penggunannya harus diawasi secara ketat. Begitu pula barang berbahaya seperti rokok.
Baca: Pencabutan Larangan Iklan Rokok, Ketum Pemuda Muhammadiyah: Itu Legalisasi Hoax
“Maka semestinya rokok juga disamakan seperti alkohol yang tidak bisa diiklankan secara bebas kepada masyarakat,” ujarnya.
Dalam sistem hukum di Indonesia, peredaran dan promosi barang tersebut diatur dan dilarang diiklankan. “Sebagai upaya perlindungan kesehatan masyarakat,” terang Joni.* Andi