Hidayatullah.com– Komisi Pemilihan Umum (KPU) merencanakan memberikan draf pertanyaan kepada masing-masing pasangan capres-cawapres sepekan sebelum debat pertama yang jatuh pada 17 Januari mendatang.
Hal ini mendapat respons dari banyak pihak, salah satunya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) sebagai organsiasi mahasiswa dan kepemudaan.
Menurut KAMMI, pemberian draf pertanyaan debat ini akan mencoreng wajah demokrasi yang sedang ingin dibangun pemerintah.
“Peraturan ini membuat demokrasi kita semakin mundur ke belakang. Demokrasi yang sedang ingin kita bangun akan tercoreng dengan pemberian draf pertanyaan di acara debat ini,” terang Ketua KAMMI Irfan Ahmad Fauzi dalam keterangan persnya kepada media di Jakarta, Selasa (08/01/2018).
Irfan membandingkan mekanisme debat pilpres tahun ini dengan debat mahasiswa saat pencalonan presiden BEM di kampus-kampus.
Ia mengatakan, pada tataran debat capres BEM saja, tidak diberi tahu draf pertanyannya terlebih dahulu.
“Di level kampus saja, seorang calon presiden (capres) BEM akan dikuliti visi-misinya tanpa tahu sebelumnya apa yang akan ditanyakan kepadanya. Ini sangat bagus karena, seorang pemimpin harus paham banyak hal akan apa yang akan dia lakukan, di situlah mereka diuji.
Tapi jika pertanyaan diberitahukan terlebih dahulu maka ini sama saja seperti menghapal yang bisa jadi calon tersebut tidak tahu apa yang ia katakan,” tambah Irfan.
Menurut Irfan, pihaknya meminta agar pemberian draf pertanyaan ini dievaluasi karena sangat bertentangan dengan logika publik yang menginginkan debat pilpres yang kaya dengan gagasan.
“Kami meminta peraturan ini segera dievaluasi. Ini sangat menganggu logika kita sebagai masyarakat yang menyaksikan. Kita menginginkan pemimpin yang kaya dengan ide gagasan. Kalau pertanyaan diberitahukan terlebih dahulu, maka tidak perlu lagi acara debat lebih baik jawabannya dikirim pakai pesan pribadi saja,” kata Irfan menyindir.*