Hidayatullah.com– Ketua MPR RI Zulkifli Hasan menanggapi permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar menunda pengesahan Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Permintaan Jokowi disebut karena RUU KUHP menuai berbagai tanggapan di tengah masyarakat.
Zulhas, sapaannya, berharap pengesahan RUU KUHP bisa dilakukan oleh DPR RI periode 2014-2019. Ketua Umum PAN ini menilai, kalau pengesahan RUU KUHP menunggu semua anggota perwakilan masyarakat untuk setuju, maka RUU KUHP itu tidak akan disahkan.
“Itu kan undang-undang zaman belanda kan, jadi kalau nunggu semua setuju ya enggak akan sah sah itu undang-undang,” ujarnya di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Senin (23/09/2019).
Baca: Ormas Islam: Cabul Tindakan Pidana Meski Dilakukan Suka Sama Suka
Zulhas mengatakan, jika ada lapisan masyarakat yang tidak setuju RUU KUHP disahkan sekarang, maka bisa mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. DPR periode berikutnya pun bisa melakukan revisi.
“Kita punya dulu undang-undang made in Indonesia,” sebutnya.
Kata Zulhas, DPR akan bertemu Presiden Jokowi guna membahas pengesahan RUU KUHP. Dia berharap dalam konsultasi itu nanti DPR bersama pemerintah bisa sepakat mengesahkan RUU KUHP pada periode saat ini.
“(Supaya DPR) ada prestasi. Tapi kalau tidak, saya juga dukung Pak Jokowi. Kan enggak pakai syarat dukungannya,” ujarnya kutip INI-Net.
Mengenai 14 pasal yang menuai perdebatan, Zulhas berharap DPR bersama pemerintah segera menemukan titik temu. Zulhas berharap RUU KUHP disahkan pada sidang masa akhir jabatan.
“Beberapa poin mudah-mudahan bisa diselesaikan. Sehingga masih ada waktu sampai tanggal 27 (September),” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi dalam keterangan pers terkait pembahasan RUU KUHP di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/09/2019) mengaku terus mencermati perkembangan pembahasan RUU tersebut secara saksama.
Jokowi menyebut, setelah mencermati masukan-masukan dari berbagai kalangan yang berkeberatan dengan sejumlah substansi RUU KUHP, ia berkesimpulan masih ada beberapa materi yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut.
Jokowi mengaku sudah perintahkan Menkumham untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR, yaitu agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahannya tidak dilakukan oleh DPR periode ini.
Sementara sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengapresiasi perluasan pasal perzinaan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
Atas nama MUI, anggota Komisi Hukum MUI Ikhsan Abdullah bersyukur hal itu dilakukan.
Sebab, jelasnya, perluasan pasal itu menjadi bentuk kodifikasi KUHP yang memang mewakili kultur Indonesia. Sejak dulu, perzinaan tak diterima dalam budaya Indonesia.
“Beberapa pasal seperti perzinaan terjadi perluasan, yang menjadi nilai baru yang sesuai dengan kultur Indonesia,” ujar Ikhsan pada acara diskusi bertajuk “Mengapa RKUHP Ditunda?” di Jakarta, Sabtu (21/09/2019).
Ikhsan menjelaskan, KUHP lama warisan kolonial Belanda hanya mengatur zina seseorang yang sudah bersuami atau beristri. Sedangkan dalam RKUHP ini, definisi zina diperluas.
Pengertian zina berubah menjadi persetubuhan antara laki-laki dan perempuan di luar pernikahan, apapun itu. Meski dia belum bersuami/beristri atau sudah.
“Sehingga ketika laki-laki dan perempuan belum menikah lalu bersetubuh, itu masuk perzinaan. Kumpul kebo masuk di dalamnya,” ujarnya kutip INI-Net.
Baca: Australia Terbitkan Travel Advice ke Indonesia Terkait RUU KUHP
Ikhsan menilai, masyarakat harus memahami RUU KUHP secara komprehensif, agar tidak tercebur ke dalam polemik bersama, apalagi banyak pihak yang mengompori isu pasal perzinaan itu.
Ikhsan menilai, masyarakat harus melihat RUU KUHP ini dengan pemahaman menyeluruh. Misalnya terkait perempuan keluar malam akan dipidana. Padahal, dalam aturan di Buku 1 RKUHP, perempuan bekerja malam tak bisa dipidanakan.
“Artis perempuan yang kerjanya pagi hingga malam, ya dia tidak bisa dipidana karena sedang bekerja,” sebutnya.*