Hidayatullah.com — Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengumumkan perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) hingga 16 Agustus. Pengumuman disampaikan Luhut lewat kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Selain mengumumkan periode perpanjangan PPKM, Luhut juga menyatakan pemerintah akan menghapus angka kematian dari indikator penanganan Covid-19. Penyebabnya kata Luhut karena masalah dalam input data yang disebabkan akumulasi dari kasus kematian di beberapa pekan sebelumnya.
“Dalam penerapan PPKM level 4 dan 3 yang kami lakukan pada tanggal 10 sampai 16 Agustus 2021 nanti terdapat 26 kota atau Kabupaten yang turun dari level 4 ke level 3. Hal ini menunjukkan perbaikan kondisi di lapangan yang cukup signifikan,” kata Luhut, dikutip Hidayatullah.com Selasa, (10/08/2021).
“Evaluasi tersebut kami lakukan dengan mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian karena kami temukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian,”sambungnya.
Terkait hal tersebut, pemerintah akan terus bekerja keras untuk mengharmonisasi data. Dengan cara membentuk tim khusus. “Menyangkut ini pun kami sekarang terus bekerja keras untuk mengharmonisasi data dengan itu juga memperbaiki silacak. Kami membentuk tim khusus untuk menangani wilayah-wilayah yang memiliki lonjakan kasus kematian yang signifikan dalam beberapa minggu terakhir yang seperti kami lakukan di Yogyakarta,” ungkapnya.
Langah Pemerintah menghapus angka kematian dari indikator penanganan Covid-19. Keputusan ini dipertanyakan karena berbau manipulasi. Pemerintah juga dianggap buta melihat kematian sebatas angka. Tiada alasan masuk akal. Keputusan ini ceroboh dan bisa mencelakai banyak masyarakat.
Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman mengatakan problem data adalah masalah lama. Pemerintah tak terlihat risau selama ini. Padahal hingga kini Indonesia belum memiliki data faktual. Selain itu pendataan juga tidak memenuhi skala penduduk dan eskalasi pandemi.
“Karena bicara misalnya angka kasus harian saja, itu sengkarutnya banyak. Baik dari sisi bahwa tes itu tidak bisa realtime, tetap ada. Tes itu kan bukan hari itu, tapi yang berapa hari kemudian,” tutur Dicky menanggapi pernyataan Luhut
Dicky menilai secara logika, ketika ada masalah pendataan, seharusnya diperbaiki, bukan justru menghilangkannya. Dia menjelaskan angka kematian adalah indikator wajib. Menghilangkannya akan berdampak sangat serius. Strategi penanganan bisa memburuk. Dampaknya celaka bagi masyarakat.
“Dampaknya sangat serius, ya, artinya kita akan buta terhadap situasi. Indikator kematian adalah indikator wajib. Jadi indikator pandemi itu ada indikator awal dan akhir. Indikator awal adalah kasus harian, TPR (test positivity rate). Kalau indikator akhir itu selain hunian rumah sakit, ICU, itu kematian,” tutur Dicky.