Hidayatullah.com– Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia berupaya untuk mengembalikan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) kepada fitrah kemanusiaan.
Ketua Bidang Kajian AILA Indonesia Dr Dinar Dewi Kania mengatakan, meski masyarakat Indonesia mayoritas menolak perilaku LGBT, namun tak berarti masyarakat Indonesia harus membenci dan menjauhi para pelakunya.
Kata Dinar, gerakan penolakan yang terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia dan upaya Judicial Review pasal-pasal kesusilaan, merupakan gerakan penolakan terhadap pemaksaan nilai-nilai yang bertentangan dengan agama dan moralitas bangsa.
“Sedangkan mereka yang terjebak pada perilaku menyimpang LGBT, tentunya harus dirangkul dan didorong untuk bertransformasi agar bisa hidup sebagaimana fitrah kemanusiaan yang sejati,” ujarnya di Jakarta, Ahad (29/12/2019).
Sebelumnya, Aila kemarin meluncurkan buku “Transformasi Menuju Fitrah” : LGBT Dalam Perspektif Keindonesiaan di Aula INSISTS, Jl Kalibata Utara II, No 84 Jakarta Selatan. Buku “Tranformasi Menuju Fitrah” ini dirilis dengan sejumlah tujuan.
Yaitu, pertama, untuk memberikan gambaran tentang sikap masyarakat Indonesia yang tercermin dalam filosofi bangsa, hukum, agama dan budaya Indonesia dalam memandang fenomena LGBT.
Kedua, untuk mengetahui upaya Judicial Review Pasal 292 KUHP terkait perbuatan cabul sesama jenis di Indonesia.
Kemudian, buku untuk memaparkan upaya-upaya yang dapat dilakukan bangsa Indonesia dan mengembalikan kelompok LGBT kepada fitrah kemanusiaan.
“Buku ini disusun berdasarkan hasil kajian pustaka dan riset lapangan. Pengumpulan data diperoleh melalui Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara dengan sejumlah ahli lintas bidang yang otoritatif terkait fenomena LGBT di Indonesia,” jelas Dinar.
Diketahui, diskursus seputar perilaku LGBT telah menjadi perdebatan panjang di tengah masyarakat Indonesia. Perdebatan tersebut, menurut Aila, didorong oleh para pelaku dan pembela LGBT yang kian berani tampil terang-terangan di hadapan publik dengan mengatasnamakan isu persamaan hak.
Advokasi legalisasi LGBT semakin masif dilakukan para penyokongnya. Mereka berusaha mendobrak batas ketabuan yang selama ini diyakini oleh masyarakat Indonesia. Keadaan tersebut, jelasnya, menimbulkan persoalan karena LGBT merupakan sebuah anomali bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi norma-norma agama dan nilai-nilai budaya.
“Agar transformasi menuju fitrah dapat berjalan efektif, maka diperlukan upaya penguatan nilai-nilai moral dan agama, baik di lingkungan keluarga maupun pada level masyarakat. Pembaharuan hukum terkait LGBT, edukasi mengenai dampak negatif perilaku LGBT, dan pendirian pusat kajian serta lembaga-lembaga terapi atau konseling bagi kaum LGBT, harus mendapatkan prioritas utama. Oleh karena itu diperlukan optimalisasi peran institusi keluarga, agama, organisasi kemasyarakatan, media massa serta negara, guna menciptakan suasana kondusif bagi perubahan perilaku yang diharapkan,” paparnya.
Buku atau laporan “Transformasi Menuju Fitrah” itu menghasilkan beberapa rekomendasi, di antaranya adalah PBB harus berhenti mempromosikan dan memaksakan isu-isu yang tidak universal agar diakui sebagai bagian dari HAM. Khususnya isu seperti LGBT.
“Mayoritas negara yang memegang nilai-nilai moral yang berasal dari agama menolak perilaku ini,” imbuhnya.
PBB katanya juga harus mampu menghargai negara-negara yang menolak LGBT sebagai bentuk ‘margin of appreciation’. Oleh karena itu, negara-negara yang tidak mengakui hak LGBT tidak boleh dipaksa untuk berubah, mengikuti pandangan partikular mereka.
“PBB ataupun lembaga profesi internasional lainnya juga sebaiknya tidak melarang para pelaku LGBT di Indonesia untuk menjalani terapi/konseling sesuai dengan keyakinan yang dianutnya. Kampanye untuk mengubah keyakinan seseorang merupakan bentuk intoleransi yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang hakiki,” ujarnya.*