“Dia menghidupkan malamnya dengan berjaga-jaga (Ribath). Tiba siang hari dia berubah menjadi seorang ulama yang berjalan-jalan diantara 5000 kitab ilmu di perpustakaan pribadinya,” demikian HAMAS mensifatinya, lewat akun twitter remsi @hamasinfo, Jum’at (01/01/2016) kemarin.
Syeikh Nazzar Rayyan, putera asli Palestina ini (1959-2009) menyelesaikan program sarjananya jurusan Ushuludin di Universitas Muhammad Bin Su’ud, Riyadh tahun 1982.
Kemudian menyabet gelar doktor dalam cabang ilmu hadis di universitas yang sama pada tahun 1994. Saat genderang perang ditabuhkan, Syeikh Mujahid Nazzar Rayyan bergegas kembali ke kampung halamannya, memenuhi panggilan tersebut.
1 Januari 2009, tepatnya lima tahun yang lalu, Syeikh berpulang. Melalui laman resmi hamas,ps (01/01/2016), Harakah Muqawamah Islamiyah/Gerakan Perlawanan Islam (HAMAS) merilis video singkat berdurasi 1 menit dan 48 detik, demi mengingat kembali Sang Legenda.
Ulama pejuang yang bertempur dengan pena dan pedang. Mengobarkan api jihad dari atas mimbar, kemudian memimpin pasukan di sepanjang lorong-lorong perlawanan.
Rayyan, demikian teman-teman biasa memanggilnya, termasuk dari sekian banyak warga palestina yang diusir oleh Zionis Yahudi dari kampung halamannya. Dia bersama keluarga hidup dan tumbuh di Kamp Jabaliya, Gaza.
Pada tahun 2004, Zionis mengancam akan menyerang habis Kamp Jabaliya, hendak menghancurkan rumah para mujahidin.
Maka Syeikh Nazzar Rayyan memimpin satu gerakan besar serentak, demonstrasi besar-besaran “pasang badan” di atap-atap rumah. Mendapati tindakan yang di luar nalar itu, pesawat tempur Zionis tidak berani melancarkan serangan.
Kecintaannya pada tanah kelahiran, tumbuh subur oleh ilmu agama yang dia dapatkan dari bangku perkuliahan dan halaqah-halaqah ilmu.
Nazzar Rayyan banyak berguru kepada ulama-ulama Hijaz (Saudi). Kematangan dalam memahami agama itu mengantarkannya kepada pemahaman yang utuh tentang jihad.
“Dengan idzin Allah saya mengajar di sekolah-sekolah agama. Namun ketika datang panggilan berjihad, saya tinggalkan murid-murid saya. Karena, jika saya tidak melakukan itu, murid-murid saya yang akan habis dibunuh!” katanya.
“Syariat Islam sudah jelas menjelaskan kepada kita. Bila mana kaum kafir datang hendak memporak-porandakan negeri Muslim, maka wajib bagi setiap laki-laki dan perempuan untuk melawan. Sesuai kemampuannya. Jika sebagain tidak sanggup megangkat senjata, maka buatlah makanan untuk para mujahidin,” tambahnya suatu ketika.
Semangat Tak Padam
Lika-liku perjuangan sudahlah dilalui oleh Syeikh Mujahid Nazzar Rayyan. Empat tahun dia mendekam di balik jeruji Zionis. Pun berkali-kali Otoritas Palestina memenjarakannya. Namun api perjuangan di dadanya tidak juga padam.
Bahkan kesudahan mereka sekeluarga pun begitu indah. Pada tahun 2004, ketika berkecamuknya Perang Furqan, pesawat tempur Zionis-Israel meluncurkan sebuah rudal yang seketika meluluh lantahkan rumahnya. Menewaskan dia, empat istri, dan 10 anaknya.
Syeikh Mujahid Nazzar Rayyan telah berpulang. Keluarganya pun menyertainya dalam kesyahidan itu. Namun perjuangan tiada akan berhenti. Cita-cita Sang Legenda tetap hidup. Hidup bersama ribuan anak dan pemuda Gaza yang menimba ilmu padanya.
“Tembok-tembok (al-Quds-rep) itu akan kembali, walaupun kini kita hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Dengan senajta ini kita mempersiapkan kekuatan. Kita mulai semuanya dari Gaza!” teriaknya sembari mengangkat tinggi senjata dalam sebuah kesempatan di hadapan para mujahidin.*