Hidayatullah.com–Kepala badan intelijen ‘Israel’ mengklaim kesepakatan normalisasi antara Tel Aviv dan Riyadh akan segera datang, Jerusalem Post melaporkan. Yossi Cohen, kepala badan Mossad ‘Israel’, mengatakan Saudi akan menunggu sampai setelah pemilihan umum AS pada 3 November sebelum mengumumkan kesepakatan itu “sebagai hadiah” bagi kandidat yang menang.
Cohen melanjutkan dengan menyarankan Saudi akan menunggu untuk berkenalan dengan calon presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden sebelum memberinya hadiah, jika dia memenangkan pemilihan.
Komentar tersebut dibuat selama diskusi tertutup tetapi dilaporkan oleh Jerusalem Post.
Kemungkinan keraguan Saudi terhadap Biden terkait dengan pendiriannya terhadap Riyadh, dan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman pada khususnya, mengingat posisi garis keras sebelumnya terhadap MBS tak lama setelah pembunuhan jurnalis Saudi Jamal Khashoggi.
Arab Saudi masih tidak memiliki hubungan formal dengan negara Yahudi itu, tetapi sekarang mengizinkan penerbangan di ruang udaranya.
Komentar itu muncul saat sumber informasi mengatakan kepada media ‘Israel’ Channel 12 bahwa Oman kemungkinan akan menjadi negara Arab keempat yang baru-baru ini menormalkan hubungan dengan Tel Aviv, mengikuti jejak Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Sudan.
Sebelumnya pada Sabtu (24/10/2020) sebuah laporan yang dilansir oleh media ‘Israel’ Hareetz mengatakan bahwa MBS khawatir rakyatnya sendiri akan “membunuhnya” jika Saudi menormalisasi hubungan dengan negara penjajah ‘Israel’.
Pemerintah Zionis membuat perjanjian penting bulan lalu dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain, dan pada hari Jumat, setuju dengan Sudan untuk menormalkan hubungan dalam kesepakatan yang ditengahi AS.
Sehari kemudian, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan kesepakatan itu “mengubah peta Timur Tengah” dan menegaskan “akan ada lebih banyak negara”.
Normalisasi dengan ‘Israel’ adalah topik yang sangat kontroversial di seluruh dunia Arab dan laporan kesepakatan telah memicu protes di seluruh wilayah.
Palestina telah vokal dalam menentang perjanjian tersebut, menganggap keputusan tersebut menghilangkan insentif bagi ‘Israel’ untuk mengakhiri pendudukannya di wilayah Palestina.*