Hidayatullah.com — Pada hari ini di tahun 1994, seorang dokter militer ‘Israel’ berjalan masuk ke masjid Ibrahimi di Hebron bersenjatakan senapan serbu Galil. Baruch Goldstein, seorang pemukim ilegal Yahudi yang berasal dari Brooklyn, Amerika Serikat itu kemudian memberondong jamaah Palestina yang kala itu sedang sholat subuh di bulan Ramadhan.
Senapan Goldstein memuntahkan ratusan peluru, di mana ia mengisi ulang setidaknya sekali, sebelum akhirnya dilumpuhkan dan dipukuli hingga mati. Saat itu, diketahui 29 jamaah pria dan anak-anak syahid, dan lebih dari 100 lainnya terluka.
Entitas Zionis kemudian merilis pernyataan yang mengutuk aksi itu sembari menyatakan bahwa Goldstein beraksi sendiri dan menyebut psikologis pria itu terganggu alias gila.
Pembantaian masjid Ibrahimi dilaporkan secara luas di media internasional – tetapi banyak orang Palestina di sini terus percaya bahwa cerita lengkapnya tidak pernah diceritakan.
Dua puluh sembilan orang yang tewas di dalam masjid bukan satu-satunya syuhada hari itu. Penduduk setempat memperkirakan jumlah akhir kematian antara 50 dan 70 – dan diperkirakan 250 terluka selama hari itu.
Mereka dibunuh oleh serdadu ‘Israel’ selama demonstrasi di luar masjid, aksi solidaritas di rumah sakit Hebron, dan bahkan di pemakaman saat para jenazah syuhada dikuburkan.
Beberapa kesaksian dari korban selamat menyebut bahwa mereka ditembak oleh seorang pria bersenjata kedua di dalam masjid. Tak seorang pun warga Palestina percaya bahwa Goldstein benar-benar bertindak sendiri.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Goldstein adalah pendukung rabi ekstremis Meir Kahane, seorang Yahudi Ortodoks Amerika yang dikenal karena ideologi ultra-nasionalisnya dan karena mendirikan partai Kach pada tahun 1971. Kach menganjurkan pemindahan paksa orang-orang Palestina dari Israel dan wilayah Palestina yang diduduki (oPt).
Bagi warga Palestina, pembantaian itu merupakan indikasi bahaya yang ditimbulkan oleh proyek pemukiman ilegal Israel. Kehidupan sehari-hari bagi warga Palestina di Hebron, khususnya di Kota Tua, sejak itu menjadi tak tertahankan, dengan jalan Al-Shuhada tetap ditutup dan kekerasan pemukim terhadap warga Palestina sering terjadi.*