Kepulangan warga Gaza ke rumah mereka yang hancur adalah soal martabat dan hidup akan terus berjalan, seberapa pun resiko dan biayanya
Hidayatullah.com | DI TENGAH tengah kehancuran Jalur Gaza akibat aksi genosida penjajah ‘Israel’, dan di antara puing-puing rumah yang hancur, keluarga Khalil al-Madhoun berusaha mengembalikan beberapa fitur lama dalam kehidupan mereka.
Setelah berbulan-bulan mengungsi dan menderita di tenda-tenda, keluarga itu memutuskan sudah waktunya untuk kembali, bahkan jika itu berarti kembali ke rumah yang hancur sebagian, dengan dinding yang runtuh dan puing-puing yang menutupinya.
Khalil al-Madhoun, mengatakan bahwa begitu mereka mendengar tentang perjanjian gencatan senjata, mereka memutuskan untuk segera kembali ke rumah mereka di lingkungan Sheikh Radwan di Jalur Gaza utara.
Itu bukan keputusan yang mudah, tempat itu hampir tidak layak huni, tetapi bagi mereka, tidak ada pilihan lain.
“Kami memindahkan tumpukan puing dari kamar dan apartemen. Awalnya, kami tidur di atas puing. Kami tidak mengizinkan wanita dan anak-anak kembali sampai kami berhasil memperbaiki situasi sedikit,” kenang Khalil dengan kesedihan bercampur tekad.
Dengan kerja keras selama berhari-hari, keluarga itu berupaya memulihkan apa yang masih bisa diperbaiki, meskipun kerusakan besar telah menimpa tempat itu.
Masuk ke dalam rumah itu sendiri merupakan usaha yang sangat berisiko, karena hampir semua rumah di wilayah itu hancur total, pintu masuk ke rumah diblokir, dan mereka harus mencari jalan memutar untuk bisa masuk.
Tenda bukan rumah
Keluarganya tidak menyembunyikan besarnya penderitaan yang mereka alami selama mengungsi. Kehidupan di tenda-tenda sangat keras, dan tidak memiliki kebutuhan dasar minimum.
“Kami menghadapi kesulitan yang tak terbayangkan, dan itulah sebabnya kami memutuskan untuk tidak kembali ke tenda, berapa pun biayanya,” kata Khalil dikutip SykNews.
Itu bukan sekadar keputusan untuk kembali, tetapi pesan yang jelas bahwa pengungsian tidak akan menjadi nasib permanen mereka, dan bahwa kehidupan harus terus berjalan bahkan di tengah reruntuhan.
“Ini tanah kami dan kami tidak akan meninggalkannya,” ujarnya.
Keluarga itu mempertahankan rumah mereka bukan hanya karena kenangan, tetapi karena rumah itu merupakan simbol perjuangan dan kerja keras selama bertahun-tahun.
“Ayah saya bekerja keras untuk membangun rumah ini. Kami tidak bisa meninggalkannya dan pergi begitu saja. Tempat ini bukan hanya tembok, ini adalah seluruh kehidupan,” seperti dijelaskan Khalil.
Kendatipun banyak tantangannya, para anggota keluarga tersebut tetap berusaha menyatukan kembali hidup mereka, berbagi tugas, mengumpulkan batu, membersihkan apa saja yang bisa dibersihkan, dan mencari cara apa saja untuk membantu mereka menyingkirkan puing-puing yang tersisa.
Meski ada kendala, Al-Madhoun tetap ngotot menyelesaikan penataan rumah. Di tempat lain, beberapa orang membicarakan rencana untuk mengusir warga Palestina dari Gaza.
“Siapa pun yang kembali dengan berjalan kaki ke rumahnya tidak akan menerima deportasi, tidak peduli godaan atau tekanan apa pun. Kami hidup dengan sarana yang minim, tetapi kami berpegang teguh pada tanah kami,” ujar Khalil menolak tegas gagasan ini.
Gaza bangkit meski terluka
Seperti keluarga Madhoun, ribuan warga Gaza telah kembali ke rumah mereka yang hancur, membawa serta harapan bahwa kehidupan suatu hari akan kembali normal.
Memang benar bahwa jalan masih panjang, dan kehancuran ada di setiap sudut, tetapi di tengah semua kehancuran ini, ada kemauan yang tak tergoyahkan, dan tekad untuk membangun kembali kehidupan bahkan di antara puing-puing.
Di Gaza, kepulangan bukan sekadar tentang pulang ke rumah, namun tentang memulihkan martabat dan deklarasi bahwa hidup akan terus berjalan, berapa pun biayanya.*/skynews